Saat sebagian orang sibuk menyiapkan lebaran, saat banyak orang dipenuhi kebahagiaan , saat semua orang berkumpul dengan keluarga.
Sore ini gue ditelpon oleh seorang teman.
“ Van , aku harus gimana ini, keadaanya sudah ngedrop banget, “ kata temanku.
“ Posisi dimana sekarang ?,” tanya gue.
“ di Abu bakar ali, dibawah dipinggir kali , dia ditunggui beberapa temannya,” jelasnya.” Dia kayaknya hanya percaya ma kamu ,” lanjut temanku.
“ oke, aku meluncur kesana.” Jawab gue.
Seorang anak laki laki, usia 21 tahun, klien gue. Dia didiagnosa HIV positif tahun 2005. Gue konselornya waktu dia pertama kali melakukan test. Saat itu kondisi doi sehat. Sempat menjalani terapi ARV ( antiretroviral ) pengobatan untuk penderita HIV positif. Tetapi karena alasan tidak bisa berhenti dari kebiasaannya minum minuman beralkhohol akhirnya drop out dari terapi. Situasi itu berulang kali terjadi dimana hal tersebut menjadikannya resistent terhadap pengobatan yang dilakukan. Beberapakali kondisi menurun dan untuk kesekian kalinya harus keluar masuk rumah sakit. Bahkan beberpa hari kemarin doi sempat dirawat dirumah sakit dan kabur dari rumah sakit tersebut. Kesehatan yang semakin menurun membawa kondisi dia masuk fase AIDS.
30 menit perjalanan gue dari rumah hingga daerah Abu bakar ali. Kulihat sekeliling tak ada teman di pertigaan itu. Gue ambil Hp then gue SMS,” Lis aku da nyampe abubakar Ali, ko dimana” Tulis gue di sms.
Gue duduk di pinggir pagar parkiran Bus sembari melamun.Sesaat temen gue Sulis, tiba di Abu bakar ali. Disusul Toni yang berbonceng dengan pacarnya, Noni namanya.
“Piye, kita langsung kebawah po,” tanya Sulis. “ Yo , ayo “ jawabku singkat. Bertiga gue , Sulis dan Toni segera menyeberang kearah taman Abu bakar ali. Dibawah jembatan kereta api yang melintang, gue turuni lereng jalan yang licin dan curam. Sesampai dipinggir kali Code, kami bertiga menyeberang kearah timur. Untung kali saat ini “cetek”, hingga kami tidaklah terlalu basah karenanya. Hingga diujung timur, tepatnya ditiang jembatan kereta sebelah timur ada tangga untuk memanjat talut kali.
Di sebelah rumah pak Mail, anak itu tergeletak.
Rumah Pak Mail, bukanlah seperti layaknya rumah yang kita bayangkan. Terbuat dari papan yang ditempel tempel hingga menyerupai kotak yang lumayan untuk bisa sekedar berteduh. Ukurannya tidaklah besar hanya cukup untuk dua orang.
Sementara anak sakit yang kita cari itu, tergeletak di sebelah utara rumah itu hanya dengan beralaskan tikar di bawah pohon mangga. Tidak ada lampu, keadaaan pada jam 21.00 itu sangatlah gelap.
Saat kami datang pak Mail menyambut kami dan menerangkan sedikit keadaan anak ini. Sementara anak itu tampak tak bergerak.Gue agak cemas dan khawatir. Jangan jangan?” gumam gue dari hati. Gue beranikan diri untuk memanggil namanya sekedar memastikan bahwa dia hidup.
Terdengar jawaban dari mulutnya, lirih. Gue lega.
Kondisi anak itu hanya meringkuk menahan dingin. Sakit lama yang dideritanya, membuat dirinya lemas dan tak bertenaga. Badannya kurus kering, mata yang cekung dengan pipi yang menyusut tak lagi menampakkan teman yang kukenal dulu. Gue usap pundaknya saat dia terbatuk , berupaya memabngun kedekatan dengan anak tersebut. Basa basi coba kutanya namaku padanya. “ Mas Novan “ jawabnya tepat. Mengalir cerita dari temanya saat dia datang ke tempat kerja gue untuk test VCT saat itu. 2005 dia menyebutkan tahun bersejarah baginya saat test HIV dengan gue. Beberapa teman yang berbareng dia saat test di tempat gue. Terseyum gue mendengarnya.
Kemudian dia duduk, dan menanyakan padaku , “ masnya juga kerja dirumah sakit?”
Lho kamu lupa ne, sapa aku?” pertanyaan bodohku.Dia hanya bergeleng ditempat gelap itu. Kusambung “ Novan, Novan “ jelas singkatku. Tampak anak itu tersenyum dalam kegelapan itu.
Kesehatan anak ini sangatlah menurun, sesaat di konek kemudian lupa lagi. Bagaimana dia akan bertahan ditempat sperti ini pikirku. Dikolong langit berteman angin , gelap bersama debu dan menggigil sakit.
Hati gue tersentuh tak tega melihatnya. Ku ambil HP dan ku kontak teman yang juga berjuang untuk remaja jalanan ini. Pak Giyo namanya. Doi yang mengelola rumah sehat “Lestari.” Saat gue telpon dia, Pak giyo menyanggupi untuk menerima anak ini sementara tinggal di rumah sehat. Saat ditawarkan padak teman gue yang sakit inipun, dia hanya menganguk pelan untuk pindah sementara di tempat yang baru, rumah sehat “Lestari “.
Fakta ini membuat gue kadang ingin berteriak. Inikah penanggulangan HIV/AIDS yang digemborkan sejumlah pemerhati di jajaran atas? Mereka yang duduk di kursi empuk dibelakang meja serta mengklaim telah memberikan perhatian ekstra dan bangga disebut sebagai pahlawan epidemi ini. Atau para penikmat aliran dan penanggulangan dalam jumlah milyaran rupiah. Sedangkan nasib komunitas penderita aids berbanding terbalik dengan keadaan yang sebenarnya.
Malam itu beberapa kali gue mencoba menghubungi beberapa penggede yang dianggap sebagi pengambil kebijakan, melalui Hp gue. Tapi sayang, hanya nada panggil yang sesaat dimatikan. Atau gue hanya mendapatkan Hp yang tidak aktif alias tidak dapat dihubungi.
Kasihan sulis, teman gue. Pengalaman pertamanya dalam peran aktifnya harus dihadapkan pada fenomena yang mengecewakan. Kebingungannya tidaklah terjawab walau teknologi telah ada. Lebaran dinikmati sebagai moment yang melelahkan karena kecewa. Sementara banyak orang memahami bahwa pilihan orang untuk libur adalah syah, sekalipun ada odha menjerit minta pertolongan. “ Yah itu hanyalah panggilan kemanusiaan , bukan tugas lembaga “ sebuah pernyataan yang pernah dilontarkan oleh seorang pejabat struktural di sebuah lembaga yang bergerak di issue HIV/AIDS. Ironis sekali.
Gue berpikir jika keadaan begini, akankah akan lahir orang orang peduli yang bekerja dengan hati? Ataukah kita akan menunggu mulut manis berlagak pahlawan yang akhirnya hanya akan berebut kursi kenikmatan yang akan mengucurkan dana segar untuk kepentingan pribadi atas nama gerakan HIV/AIDS?