Subscribe

Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Selasa, Desember 30, 2008

Telur berputar dan HIV/AIDS

Ditengah asyik masyuknya diskusi hiv/aids antara dosen luarbiasa UNY, jurusan satra drs.Hamdisalad dengan direktur PKBI
Mukhotib MD, aku hanya bengong dan sesekali tertawa lepas. Bagaimana bicara hiv/aids dalam seni dan tradisi yang sedang dikembangkan
oleh lembaga PKBI DIY. secara sebagai orang media mereka sangat fasih membahas media audio visual untuk isu isu kesehatan
reproduksi, seperti film Naya garapan Hanung brahmantyo yang bekerjasama dengan PKBI saat itu.
begitu ngalor ngidulnya obrolan mereka , hingga organisasi agama juga tak terlewatkan menjadi topik menarik untuk di perbincangkan.
Luar biasa bagaimana kiblat informasi kesehatan reproduksi menjadi acuan organisasi besar seperti PBNU dan Muhammadiyah yang akan dimotori
oleh lemabaga tua sebesar PKBI DIY.
Akhirnya senggolan banyolan tertumpu pada sebuah kejadian unik di pondok pesantren " Watu Congol " Magelang.
Sebagai saksi sejarah direktur PKBI yang merupakan alumni pesantren, mengkisahkan pengalamannya. Memang secara sosial pondok pesantren Watu Congol
ini tidaklah mencolok di banding denga pondok pesantren Pabelan, yang mampu mengembangkan IT dalam pengembangan pendidikan bagi para santrinya.
akan tetapi justru keunikan Watu Congol inilah yang memberikan inspirasi untuk menuangkannya dalam blog aku.Dulu di pondok pesantren yang bernama Watu Congol ini, ada sebuah tradisi. banyak masyarakat yang berkunjung untuk bertemu Kyai disana.
seringkali untuk acara pisowanan tersebut masyarakat membawa buah tangan untuk pak kyai. Kebanyakan mereka membawa buah tangan telur ayam.
hal tersebut dilakukan untuk konsumsi bapak Kyai disana. Akan tetapi lam kelamaan jumlah telur yang terkumpulkan tak sebanding dengan kemampuan
konsumsi pak Kyai. Telur terkumpul dalam jumlah yang semakin banyak. Oleh sebab itu maka pak Kyai menyuruh sebgian santrinya untuk menjual dan
menukarkan uang di warung warung sekitar Pesantren Watu Congol. Uang bisa di gunakan untuk membiayai keperluan pesantren tersebut.
Seiring waktu, ada perubahan budaya dari masyarakat yang sering melakukan pisowanan Kyai di pondok itu, yang selalu membawa telur dari rumahnya.
Dengan alasan bahwa telur mudah pecah, selama perjalanan untuk bertemu Kyai, maka masyarakat memilih untuk membeli telur diwarung sekitar pesantren tersebut.
Telur di serahkan pak Kyai, menumpuk. Kemudian para santri kembali menjualnya ke warung sekitar. Masyarakat datang membeli dan diterimakan pak Kyai.
Kembali santri menjualnya pada warung penjual telur. Begitu seterusnya hingga telur tersebut pusing yang bukan hanya tujuh keliling, karena memang tidak pernah
ada berhentinya.
Lalu seorang santri, nakal bertanya pada penjual salah satu warung, " Bu, kapan perputaran telur ini akan berhenti?".
Dengan sangat enteng prempuan penjaga warung menjawab, " ya, kalau telurnya debeli oleh orang kampung". artinya bakal dimasak dan di goreng.
Santri mengangguk angguk merasa bodoh dengan jawaban si ibu penjaga warung. Cerita senada juga terpaparkan dengan lugasnya. Kali ini, ceritanya hanya berbeda
bikisan bermacam merk rokok sebagai upeti Kyai. Nasib rokok yang sama dengan telur.
Akhirnya kami bertiga tertawa lepas............
Lalu apa hubungannya dengan hiv/aids?


Tidak ada komentar: