Subscribe

Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Rabu, Desember 31, 2008

Senyuman yang tercabik

Beberapa jam sebelum pergantian tahun 2008, terbayang olehku semarak lalulintas yang padat oleh pengendara yang ingin menghasiskan malam tahun baru ini dengan berkeliling Jogja. sementara aku disini masih asyik menulis tanpa terusik malam yang membahagiakan orang yang memang lalu lalang. . Di rumah sakit ini semakin ramai saja dengan pasien masuk, banyak kecelakaan.aku tetap menulis.Beberapa hari ini aku memang disibukkan dengan kegiatan pemeriksaan darah untuk HIV test bagi para pekerja seks di salah satu lokalisasi di Jogja. Bahkan semalam tadi aku harus ekstra waktu untuk memberikan konseling bagi puluhan pekerja seks perempuan yang ingin mengetahui hasil testnya beberapa waktu yang lalu.
Siang tadi kira kira pukul 14.00 wib, sesuai janjian by phone yang dilakukan semalam. Salah satu pekerja seks datang ke kantorku. Dilantai II PKBI DIY itu kami bertemu bertatap muka. Sembab wajah perempuan itu, setelah semalaman menangis. Dia mengaku tidak bisa tidur. bayangan kematian membuatnya gelisah. Hal itulah yang dituturkannya padaku.
" apakah saya bisa sembuh?" pertanyaan permpuan ini. Perempuan ini terdiagnosa HIV positif. Selama satu jam lebih aku memberikan layanan konseling baginya. Sesekali tissue diusapkan diwajahnya, mengahapus air mata yang deras mengalir. Kuberikan waktu baginya untuk menangis, dia lega.Kemudian dengan perlahan, satu persatu aku menunjukakan langkah tindak lanjut medis yang harus dilakukannya, sesekali perempuan ini mengangguk. Pertanyaan kemudian dengan lancar dia sampaikan padaku, mungkin sudah merasa nyaman. Keingintahuannya semakin besar." Aku ingin hidup",aku ingin sehat, aku ingin sembuh ," katanya
Selang beberapa waktu kemudian perempuan ini pindah keklinik bawah untuk memeriksakan keluhan keputihan yang dialaminya sekarang. Klinik adhiwarwarga PKBI kemudian melayaninya. Gratis, karena ini adalah warga dampingan lembaga.
Setelah semua dirasa usai, aku kemudian meluncur ke rumah sakit temapat kerjaku. Tinggal janji ketemu kembali untuk rencana tindakan selanjutnya buat perempuan temanku ini.
Sejenak aku merenungkan kejadian tadi. Hal yang sama sering kali terjadi pada siapapun yang mendapatkan diagnosa positif HIV. Virus ini masih dipandang sebagai monster mematikan yang tidak ada obatnya. Belum lagi vonis moral yang selalu dilekatkan pada cara pandang yang sebenarnya kurang tepat.
Lalu bagaimana dengan malam yang membahagiakan ini?
Akankah malam pergantian tahun ini mempunyai makna yang sama bagi teman perempuanku ini? Aku sendiri yakin , bahwa tentulah malm ini adlah malam yang berat. Berat untuk beradaptasi dengan status B20 yang disandangnya. Berat untuk melunturkan kekawatiran masa depan. Gelisah dengan bayang bayang kematian yang belum tertemukan jawabannya. Sejuta senyuman yang dialami banyak orang tidaklah berarti dengan perasaan temanku, terbungkam adalah perasaan.
Teman yang dipercaya adalah satu satunya kebutuhan yang dirasakannya.Bukan tarian, bukan kembang api, bukan riuhnya sorakan dan suara terompet.

" Jangan biarkan aku sendiri "


Selasa, Desember 30, 2008

Telur berputar dan HIV/AIDS

Ditengah asyik masyuknya diskusi hiv/aids antara dosen luarbiasa UNY, jurusan satra drs.Hamdisalad dengan direktur PKBI
Mukhotib MD, aku hanya bengong dan sesekali tertawa lepas. Bagaimana bicara hiv/aids dalam seni dan tradisi yang sedang dikembangkan
oleh lembaga PKBI DIY. secara sebagai orang media mereka sangat fasih membahas media audio visual untuk isu isu kesehatan
reproduksi, seperti film Naya garapan Hanung brahmantyo yang bekerjasama dengan PKBI saat itu.
begitu ngalor ngidulnya obrolan mereka , hingga organisasi agama juga tak terlewatkan menjadi topik menarik untuk di perbincangkan.
Luar biasa bagaimana kiblat informasi kesehatan reproduksi menjadi acuan organisasi besar seperti PBNU dan Muhammadiyah yang akan dimotori
oleh lemabaga tua sebesar PKBI DIY.
Akhirnya senggolan banyolan tertumpu pada sebuah kejadian unik di pondok pesantren " Watu Congol " Magelang.
Sebagai saksi sejarah direktur PKBI yang merupakan alumni pesantren, mengkisahkan pengalamannya. Memang secara sosial pondok pesantren Watu Congol
ini tidaklah mencolok di banding denga pondok pesantren Pabelan, yang mampu mengembangkan IT dalam pengembangan pendidikan bagi para santrinya.
akan tetapi justru keunikan Watu Congol inilah yang memberikan inspirasi untuk menuangkannya dalam blog aku.Dulu di pondok pesantren yang bernama Watu Congol ini, ada sebuah tradisi. banyak masyarakat yang berkunjung untuk bertemu Kyai disana.
seringkali untuk acara pisowanan tersebut masyarakat membawa buah tangan untuk pak kyai. Kebanyakan mereka membawa buah tangan telur ayam.
hal tersebut dilakukan untuk konsumsi bapak Kyai disana. Akan tetapi lam kelamaan jumlah telur yang terkumpulkan tak sebanding dengan kemampuan
konsumsi pak Kyai. Telur terkumpul dalam jumlah yang semakin banyak. Oleh sebab itu maka pak Kyai menyuruh sebgian santrinya untuk menjual dan
menukarkan uang di warung warung sekitar Pesantren Watu Congol. Uang bisa di gunakan untuk membiayai keperluan pesantren tersebut.
Seiring waktu, ada perubahan budaya dari masyarakat yang sering melakukan pisowanan Kyai di pondok itu, yang selalu membawa telur dari rumahnya.
Dengan alasan bahwa telur mudah pecah, selama perjalanan untuk bertemu Kyai, maka masyarakat memilih untuk membeli telur diwarung sekitar pesantren tersebut.
Telur di serahkan pak Kyai, menumpuk. Kemudian para santri kembali menjualnya ke warung sekitar. Masyarakat datang membeli dan diterimakan pak Kyai.
Kembali santri menjualnya pada warung penjual telur. Begitu seterusnya hingga telur tersebut pusing yang bukan hanya tujuh keliling, karena memang tidak pernah
ada berhentinya.
Lalu seorang santri, nakal bertanya pada penjual salah satu warung, " Bu, kapan perputaran telur ini akan berhenti?".
Dengan sangat enteng prempuan penjaga warung menjawab, " ya, kalau telurnya debeli oleh orang kampung". artinya bakal dimasak dan di goreng.
Santri mengangguk angguk merasa bodoh dengan jawaban si ibu penjaga warung. Cerita senada juga terpaparkan dengan lugasnya. Kali ini, ceritanya hanya berbeda
bikisan bermacam merk rokok sebagai upeti Kyai. Nasib rokok yang sama dengan telur.
Akhirnya kami bertiga tertawa lepas............
Lalu apa hubungannya dengan hiv/aids?


Nyanyian Natal dalam peluh dan air mata

Berbulan bulan aku absen dari menulis blog. Banyak sekali moment yang hilang. Mulai dari hiruk pikuk surveilans pekerja seks, aids day, jogjakarta principle, SAN ( Stop Aids Now ) di Jakarta hingga hari hari yang timbul tenggelam.
Ya ..sudahlah yang penting pagi ne, aku harus mulai menulis lagi. mungkin karena dipicu hari ne ngerasa sepi tidak ada aktivitas seperti biasa dilakukan. Natal kali ne, memberikan nuansa yang berbeda. Setelah sekian lama bergelut dengan dunia hiv/aids ada beberapa titik terang serta keberhasilan yang menambah semangat dalam gerakan. Ada yang menggelitik perasaanku, lama sekali aku tidak turun ke lapangan, khususnya tempat teman temanku mangkal dan bekerja sebagai pekerja seks. Kegiatan surveilans itulah yang menjadi media aku kembali dekat dengan mereka. dari beberapa lokasi yang menjadi sasaran surveilan pekerja seks di Yogyakarta salah satunya adalah " Ngebong " sebutan lokalisasi ilegal di sepanjang rel kereta api.



malam itu hampir jam 24.00 wib, masih banyak para pekerja seks yang mau memeriksakan darahnya untuk di test HIV. Karena itu adalah permintaan teman teman pekerja seks sendiri maka akupun tetap terjaga dalam semangat yang mengharu biru. Bagaimana tidak, seluruh program hiv/aids yang menggelontor danannya di Jogja tidaklah lepas dari sumbangan dan kerelaaan teman teman saya yang memberikan sample darahnya untuk diperiksa. Keadaan mereka yang rapuh dan rentan tidaklah seimbang dengan reward yang diberikan. Seringkali mereka menvonis dirinya sendiri padahal teman temanku ini adalah korban.
Korban ketidak adilan, korban ketimpangan gender, korban kekerasan, korban ekonomi dan korban sistem negara. Jika kita melihat langsung beberpa diantara teman kita ini sangatlah memilukan, beberapa diantara mereka adalah perempuan dengan keterbatasan dan kemampuan yang berbeda ( defable ). Bagaimana seorang perempuan yang bisu menjadi pekerja seks. Untuk bernegosisasi dengan para pelanggan saja banyak keterbatasan. hal ini menambah resiko akan kekerasan yang dilakukan oleh para pelanggan. Tanpa perlindungan, sebagian masyarakat hanya bisa menyalahkan dan menghakimi mereka tanpa bisa merasakan apa yang dialaminya. Ironis memang. Berapa orang tua yang pernah menjadi pekerja seks masih mengais rejeki ditempat itu denga berjualan ataupun menjadi tukang pijit keliling. dari mereka ada yang buta. Bekerja penuh dengan resiko karena tempat yang tidak bersahabat, penuh bahaya dan gelap. Hanya lampu lampu kecil yang tidaklah terlalu terang. Kadang kereta lewat dengan jam yang sangat padat.
Beberapa catatanku menunjukan hal yang memiris hati. dari pendapatan mereka yang kecil, hanya beberapa lembaran ribuan perak untuk bertahan hidup harus memberikan dan mempertaruhkan organ reproduksinya yang nilainya tak ternominalkan itu.
bagaimana tidak, sebagian besar tamu tidak mau menggunakan kondom. Dengan angka prevalensi yang tinggi di JOgja tentunya semakin menambah situasinya semakin beresiko bagi mereka. Informasi adalah dengungan yang digemborkan di banyak program penanggulangan adis ini. Akan tetapi tidakkah para penggiat paham kondisi mereka. Pengetahuan adalah hal minim yang mampu mereka pahami. Jangan hanya berkata " telah diberikan" seperti biasa orang program mengatakan, karena pemahaman selama ini merekan adalah sasaran program yang berarti " object", entah diakui atau tidak.
Lihatlah sebagian mereka adalah defable dengan keterbelakangan mental, yang mengharuskan metode yang berbeda dalam penyampaian informasi, sehinggga bisa dipahami. Belum lagi sebagian besar adalah buta huruf akankan teman temanku ini aman dari tindak kejahatan dan ketidak adilan.

Ingin rasanya Natal yang damai dan menyejukkan, dialami juga oleh teman temanku ini. sejenak termenung membayangkan wajah mereka kembali. Jika saja lebih banyak lagi orang yang akan peduli tentunya akan mengguratkan senyuman mereka kembali