Subscribe

Kamis, November 05, 2009

Catatan Kecilku dari Asia Pasifik

Epidemi HIV yang semakin meluas telah menjadi masalah yang cukup serius. Disebutkan oleh Menteri Kesehatan Siti fadilah Supari, bahwa pemerintah Indonesia telah mencatat sebanyak 12,493 orang terinfeksi yang mendapatkan pengobatan HIV,bahkan mereka telah mendapatkan subsidi penuh untuk akses pengobatan khususnya ARV. Hal tersebut pernah disampaikannya ditengah simposium ICAAP IX, 10/8 Nusantara 2, BICC, Bali.

Tentulah jika dihitung, anggaran tersebut pasti sangatlah besar . Sekalipun sebagian besar anggaran tersebut adalah dana sumbangan. Seperti yang disampaikan oleh Prof .Michael Kazatchkine , direktur eksekutif GF – ATM, ditengah konggres Asia Pasifik bahwa hingga pertengahan tahun ini, lembaga dunia tersebut telah menyetujui dana sebesar 16 milyard US dolar, yang mana 8 milyard US dolar telah siap didistribusikan ke 140 negara penerima termasuk Indonesia.

Seperti banyak dikutip oleh banyak pihak, ternyata dana yang tampaknya sangat besar tersebut ternyata sangatlah minim jika dibandingkan dengan besaran masalah di kawasan Asia Pasifik saja. Dr.Samsuridjal ( KPAN ) mengatakan dana bantuan GF ATM yang diterima Indonesia , hanyalah mampu untuk operasional program MTCT di 9 propinsi dari puluhan propinsi yang ada. “Lalu bagaimana dengan kasus hiv pada Ibu dan anak di propinsi lain?” pertanyaannya pada saat simposium Univesal Accses , ICAAP IX beberapa bulan yang lalu.

Terkait dengan PMTCT, masalah akses Universal , dana bukanlah satu satunya hambatan, ternyata masalah kebijakan juga dirasakan sangatlah mendesak untuk diperhatikan.
Bagaimana tidak? Seberapa banyak dari pasangan usia subur dengan HIV positif mempunyai
problem dengan kehamilan yang tidak diinginkan karena kecelakaan kontrasepsi, dengan membayangkan data yang telah disampaikan tadi.

Selama ini problem semacam tersebut hanyalah ditanggapi dengan enteng dan dingin saja oleh kalangan kesehatan. PMTCT menjadi terkesan sebagai satu satunya penyelesaian tanpa menyadari pemaksaan yang dilakukan karena tidak mengindahkan hak hak perempuan terinfeksi.

Sebuah kasus baru baru ini, seorang ibu rumah tangga positif HIV, tertular dari suaminya yang baru saja meninggal karena AIDS. Bebannya berlapis saat dirinya harus membesarkan 2 orang anak yang masih balita, yang mana anak keduanya juga terinfeksi virus ini. Kondisi ibu rumah tangga ini memang memprihatinkan, bahkan secara klinis tidak begitu baik. Selain angka CD4 nya yang menurun rendah, kini bertambah berat dengan kehamilan yang ada padanya. Saat kasus ini dikonsultasikan kepada dokter ahli yang menangani HIV dan AIDS, secara sadar para ahli ini berpendapat hal yang sama tentang kondisi berat pada perempuan ini. Kan tetapi masalahnya adalah “ terminologi regulasi “ ujar dokter konsultan HIV itu. Belum ada satupun regulasi yang memberikan payung hukum terhadap tindakan terkait dengan kasus ini, tidak pula UU kesehatan sekalipun telah mengalami revisi.

Mukhotib MD, direktur pelaksana daerah ( dirpelda ) PKBI DIY, mengatakan pentingnya menggunakan perspektif gender dan HAM didalam merespon tantangan epidemi hiv dan aids.
Contoh kasus diatas membuktikan bahwa selama ini respon yang dilakukan semata mata hanya
menggunakan cara pandang medis semata. Hak hak perempuan yang terabaikan hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan, mengingat angka yang tercatat minim.

Jika saja perda HIV dan AIDS yang akhir akhir ini sedang ramai dibahas dikalangan penggiat epidemi, bisa bersuara banyak dengan mengunakan perspektif tadi tentulah problem kesehatan reproduksi akan mampu diselesaikan dengan berpihak pada hak hak perempuan.


Selasa, November 03, 2009

Akankah Surveilans HIV terpuruk sebagai tradisi

Surveilans sentinel 2008 telah meninggalkan sejarah baru. Sejarah dimana pelaksanan waktu itu diserahkan kepada lembaga Non pemerintah, berbeda dengan sebelumnya dilakukan oleh dinkes kota sebagai pengampu kebijakan yang ditunjuk dalam Pedoman surveilans sentinel depKes.

sebagai orang yang terlibat, saya merasakan betapa besarnya tanggung jawab itu. pengalaman serosurvei tahun tahun sebelumnya telah membekali saya untuk melakukan pekerjaan tersebut. Hingga kemudian semua pekerjaaan besar tersebut selesai.

Posisi saat itu, saya bukanlah sebagai koordinator. saya tetaplah relawan untuk kepentingan konseling 9 konselor vct ). Akan tetapi saya merasakan betapa besarnya porsi pekerjaan dan tanggung jawab yang harus saya jinjing mengingat pengalaman, protap dan skill semua ada padaku. catatan evaluasiku menuliskan, banyak konsep yang ku buat. Kan tetapi justru masukan dariku saat itu selalu saja di reject oleh forum, dengan alasan yang aku rasakan sebagai penolakan subyektif. Aneh, ini konspirasi...

Ada sebuah konspirasi agar aku tidak muncul, berada di garda depan, sekalipun aku tak mengharapkan posisi itu. saya hanya ingin diajak bicara, diskusi atau berbagi ide. Tapi memang hal tersebut sering kali disalah artikan menjadi ambisi oleh bebrpa orang yang tak suka dengan penilaian subyektifnya. walahh wwueek cuiih.. kesalku....

benar sekali dugaanku, kemudian prediksi tentang ketidak beresan didalam pelaksanaan satu persatu mulai bermunculan. Carut marut koordinasi mengkondisikan kerepotan yang amat sangat pada diriku. Tapi seakan ketija kuteriak tak ada peduli...kecewa memang.

tak ada sharing hasil dalam forum resmi, tak ada evaluasi, tak ada masukan untuk membuat sejarah dalam melangkah ke depan, semua adem adem saja, tak ada yang tergelitik. Yang kemudian membuat diriku diam dengan membungkus rasa kecewa yang dalam.
Jerih payahku hanyalah tergambar sebagai kerja kuli, tanpa meninggalkan perubahan yang lebih baik.

Setelah semua tadi berlalu, Bulan agustus saya mulai cuap cuap tentang surveilans rutin ini, kog belum dibahas?. jawaban yang kudapat sangatlah cetek dan tak menggambarkan keseriusan, karena hanya dijawab, iya ya mungkin belum , karena belum ada rasan rasan dinkes buat meeting, kata temenku, manager program. Huh, bukan itu yang ku maksud, tetapi desakan lembaga untuk mengingatkan dinkes melalui komikasi yang baik ttg surveilans ini. Karena saya yakin bahwa nantinya surveilans akan tetap dilakukan, dan ketidak beresan pasti akan diatas namakan "Waktu yang mepet ". dodol ga sech......

setelah beberapa bulan, terdengar desas desus, surveilans akan dilakukan lagi, undangan terkirim pada lembaga. Saat itu masih ingat di memoryku, bahwa kata pelda , ada undangan tersebut tapi kita tak akan mengirimkan satu orang pun , karena semua sibuk. "Tak pula mengirimkan diriku, karena dikhawatirkan bakal ribut karena kekritisannku" ujar pelda.

Kemudian beberapa hari yang lalu, pelda mendapat undangan buat meeting dengan dinkes terkait dengan pelaksanaan surveilans. Dua hari sebelum acara tersebut pelda meminta diriku membuatkan konsep surveilans 2008. Aku berpikir, "wuuehh kog aneh? " Bukankah koordinator saat itu di pegang olehnya, atau penggantinya adalah masrul or jacky? harusnya merekalah yang dimintain tolong untuk membuatnya, bukan diriku?"
tetapi dengan jiwa besar ku buat sebaik mungkin untuknya, dalam bentuk power point, aku serahkan, akan tetapi hasil itupun dia edit untuk tidak menampilkan foto foto kegiatannku pada vct mobile di gunung kidul, dimana sebenarnya aku pakai sebagai ilustrasi yang memudahkan pemahaman dari prentasi yang aku buat tersebut. 'Ono opo ini?" aku hanya berkata dalam hati.

Kini , sore ini tadi, aku mendapat telpon dari pelda yang meminta diriku untuk menyiapkan form form yang dibutuhkan, dan membicarakan tehnis pelaksanaan dengan usulan dari dinkes yang meminta Tim klinik akan bergerak dengan koordinasi dari masing masing layanan VCT.
lha piye? hal itu yang belum bisa kupahami dalam koordinasinya nanti, tapi okelah...
"Nanti kita lihat di dalam rapat persiapannya nanti," usulku mengendorkan pikir. Telpon ditutup.


Senin, November 02, 2009

Cerita Cerita Munajat

Sepulang kerja seperti biasa, tiba tiba kaki ini membawaku ke tempat temen yang kebetulan rumahnya dideket Malioboro. Uki nama temenku , dia punya usaha penginapan yang dikenal dengan nama " Munajat Hotel ". disinilah banyak temen teman berkumpul, dari teman teman komunitas hingga aktivis LSM. Dulu memang Uki pernah bersama samaku menjadi aktivis PKBI DIY khususnya di pendampingan kominitas gay yang kini nama kegiatannya berganti menjadi (community orginizer ).

Kira kira waktu itu pukul 15.00 sore. Saat aku datang, terlihat Uki sedang duduk dengan seseorang yang bertubuh agak boncel, yang tak asing bagiku. Mira...... teman lamaku satu divisi denganku, saat Uki pernah menjabat korordinator divisi. lama sekali aku tak jumpa anak ini. seiingatku kami bertemu di Angkringan Pendo Dalem, saat pembahasan HAS ( hari aids sedunia ) bersama teman teman JAC ( jogja aoutomotif club ).
Basa basi kami bertiga, sambil udad udud dengan sitomboy ini. Tak lama tuan rumah menawarkan soup buatannya sendiri, langsung saja kami tak segan ntuk menolaknya, mungkin karena lapar juga ya..

Namanya mulut ini memang sudah tersetting otomatis kayaknya, dimanapun kaki berpijak selalu saja obrolan LSMnya keluar. Apalagi Mira bercerita tentang LSM barunya yang kini bergerak diisu kesehatan bersama Nukman dan Netty yang keduanya mantan PKBI juga.
lapangan yang dijangkau Mira kali ini berbeda dengan waktu dia bersamaku dulu, kini dia memasuki kelompok perempuan usia subur. Bernostalgia dengan cerita cerita lama memang sangatlah asyik.

Tiba giliranku bercerita tentang apa yang kujalani bersama PKBI, mulai dari VCT, Lesbian, LGBT, mainstream heteroseks patrarki, audio visual hinggga multikulturalisme yang sudah menjadi "dagangan cangkem ". Saatku berbagi data , Mira pun berkomentar, Kog sampai hapal banget sech? "namanya juga dagangan, " jawabku ngekek.

Ukipun punya cerita lain, dirinya kini lagi hobby mengedit film, sudah beberpa film yang dia garap. salah satunya yang pernah aku lihat, Tragedi KKWK . Hal ini dilakukannya disela sela mengelola hotelnya. Lucu juga cerita Uki, bagaimana tidak ? Dia terkadang mengeluhkan begini, aku tuch salah apa sech, dalam membuka hotel ini, maunya bisnis hotel kog malah jadi penitipan anak? kita berdua ngekek , senyum lucu mendengarnya.
Memang sejarah keluhan itubeginii, Uki menerima tamu hotel , kakek kakek yang membawa anak kecil (cucunya). Sering kali nak yang berusia 4 tahun ini berkenalan dengan teman temen Uki yang datang kesitu, Yudha, kenalnya.

begitu kehadiran anak ini, sering kali tetangga tetangga Uki yang mempunyai anak seumuran Yudha bermain di Lobby tempat Uki usaha, alhasil hotel itu jadi ramai sekali, bukan karena tamu hotel, akan tetapi berubah jadi TPA ( tempat penitipan anak ).
Wkkk kk kk kk memang terkadang lucu juga, apalagi Uki sempat menuliskannya sebagai Status facebook, Otomatis beberapa teman mengomentarinya..,.Buka TPA aja Mak, jadi bisnis baru, Mungkin udah bakat itu. ....dalam kelakarnya temanku ini menjawab, " kalo yang ini belum cukup umur, mungkin kalo anak anak SMP atau SMA bisa jadi serius nech," kkkk kkk kamipun tertawa.

Sayang seribu sayang, pukul 16.00 akhirnya memaksaku pergi dari reuni divisi kecil. Karena sore itu aku berjanji untuk menghadiri syukuran "Trisnawara", group keroncong muda yang kemarin mendapatkan juara III di ajang Festival keroncong tingkat propinsi DIY. Paling tidak untuk evaluasi sorenya , aku bisa nyonthong lagi, dan membawa semangat gerakan sosial pada kelompok baru ini.

Lakukan sesuatu untuk perubahan dimanapun kakimu berpijak, perubahan untuk sesuatu yang lebih baik, buat dirimu maupun sekitarmu.....


Minggu, November 01, 2009

Berbagi Sore di Perempatan Tugu

Jogja memang kota yang asyik untuk nongkrong. Apalagi jika waktu telah menjelang petang. banyak tempat ditawarkan dari trotoar jembatan Gondolayu hingga perempatan Tugu bisa menjadi pilihan bersantai atau hanya sekedar ngobrol ringan.

Sore itu kami kedatangan seorang teman lama, bisa dibilang seniorlah. Namanya Ferry mantan aktivis Lentera Sahaja ( PKBI ) era tahun sembilan puluhan.
Kini sahabat lama ini bergabung dengan NGO skala International, Fammily Health International (FHI ) yang berkantor di Jakarta. Saat itu kami berkesempatan untuk ketemuan di Hotel Phonix temapatnya menginap, disela sela waktu kosongnya mengikuti workshop yang dilakukan oleh KPAN di Jogja.

Sesampai kami diHotel, tawaranpun diberikan, mau ngobrol dimana ne?" pintanya. Tempat yang asyik deket deket sini, and bisa duduk sembari ngobrol ngobrol bebas," lanjutnya. Ku tawarkan lesehan gudeg di deket perempatan Tugu, tempatnya nggak jauh dan enak buat ngobrol," usulku. Semua setuju.

Berjalan kaki kami menuju temapt yang disebutkan tadi. kebetulan kami berenam orang, karena memang kami barusan rapat bersama membahas HAS ( hari aids international ) untuk bulan Desember nanti. Ada Netty ( SPAY ), Gama ( korprog High risk group), Masrul ( korprog lentera ), supri ( pelda ) , Mukhotib ( dirpelda ) dan diriku ( relawan ).. Feri mulai bercerita tentang tugasnya di Jogja sekarang ini, dengan panjang lebar dan semangat dia berbagi tentang pengalaman barunya di FHI. Sesekali kemudian dia bertanya. Apa yang sekaarang dikerjakan PKBI?

Mukhotib selaku pentolan kepala suku mulai angkat bicara. gayanya yang semau gue selalu diiringi gelak tawa lepasnya." Gini kang", katanya yang selalu menjadi awalannya.
PKBI sekarang sudah lain dari yang dulu, ujarnya menjelaskan. Sekarang yang kita kerjakan adalah pengorganisasian."wah bagaimana tuch,?" feri dalam selanya. kalau dulu kita selama dua puluh tahun selalu melakukan program outreaching, kini gerakan itu mulai kita geser. kenapa kita geser, karena bagaimana nalarnya jika pendampingan komunitas itu dilakukan hampir dua puluh tahun berjalan.

Pekerja seks yang selama ini didampingi pastilah jauh lebih pintar dibandingkan dengan relawan yang tiap tahunnya sering kali berganti. Lebih pintar komunitasnya, kang. Oleh sebab itu pengorganisasian harus dijalankan untuk melangkah pada tahapan berikutnya yaitu CBO ( community based organization ). dengan CBO lah nantinya program perjuangan identitas itu dimulai. Feri mulai berpikir yang kemudian bertanya, Jelasnya bagaimana tuch ?"

Mulailah mukhotib bercerita tentang multikulturalisme barunya. panjang dalam penjelasannya saat itu, hingga sampai pada strategi advokasinya. teman lama kita mengangguk tanda bahwa dia paham tentang hal baru yang disampaikannya tadi. Dahinya terlihat berkerut dan kembali dirinya melempar pertanyaannya. Dalam bahasa program, bagaimana kita bisa mengukur keberhasilannya?" tanya dia. Biasanya dalam bahasa program ada outcome yang bisa dijadikan verifikasi bahwa program tersebut berhasil? lanjut pertanyaannya.

FHI didalam mengukur program jelas, dari beberapa indikator klinis bisa diukur baik dengan menggunakan surveilans HIV, survei IMS ataupun data data klinis lainnya. Bisa pula dari survei perilaku ( behavior survey ) seperti yang sedang dirancang didalam workshop di Jogja sekarang ini, " dia mempertajam pertanyaanya.

Obrolan semakin berat dan panas. Mukhotib menjawab santai," gampanglah kalau kita mengukur atau membuat indikator indikator capaian itu." Hanya problemnya adalah kita selalu dihadapkan pada indikator indikator capaian dalam bentuk angka angka kwantitatif. Data kualitatif sering tampak sebagai hal yang tidak menarik , terkadang malah diabaikan," dirinya menambahkan. Contoh misalnya, sekarang yang namanya pekerja seks, sudah berani bertanya pada petugas yang sedang melakukan razia, " mana surat tugasnya, saya mau lihat !" ujar Mukhotib menirukan gaya pekerja seks yang terazia.

Contoh lainnya, sekarang pembahasan perda hiv dan aids, mulai melibatkan komunitas untuk diajak dialog, tak ada lagi model model arogansi penaklukan yang dilakukan pihak pemerintah dalam hal pembuatan perda. "Surveilans hiv dan IMS kini telah diserahkan dinkes kota, selaku dinas yang berwenang dalam pelaksanaan ke pihak PKBI DiY untuk memastikan hak hak pekerja seks supaya tidak terlanggar," Ujarku menambahkan.

Kemudian obrolan bergeser ke topik lainya. Mukhotib menjelaskan rencana PKBI kebulan depan Agenda PKBI akan membuat workshop nasional untuk sinergitas 3 gerakan, gender , HAM dan hiv dan aids," ungkapnya. dari sana antinya akan lahir tools yang akan mengukur bagaimana layanan konseling yang berperspektif sinergitas 3 gerakan tadi. Memang diakuinya hal ini bukanlah hal yang gampang dalam membuat toolsnya. Mukhotib menceritakan tentang kasus perempuan yang diperkosa dan mempunyai potensi terpapar hiv dan aids, dimana si pemerkosa memiliki perilaku yang rentan dan berpontensi terinfeksi HIV. Wow, dalam kasus seperti ini mana dulu yang akan diselesaikan? kekerasannya dulu ataukah HIVnya? belum lagi jika disana muncul keluhan terkait dengan IMS ( infeksi menular seksual ) akibat perkosaan, beginilah gambaran susahnya menyusun tools tadi.
Nah pelatihan atau apapun namanya , nantinya akan didorong untuk membuat tools yang sesuai dengan kebutuhan tadi. "Dari pelatihan ini, akan lebih mudah lagi membuat indikator capaian yang lebih lengkap dari data yang terkumpul nantinya," Ujarku menambahkan.

Misalnya lagi, PKBI pernah membuat pelatihan audio visual. Mendorong komunitas untuk mampu membuat video komunitas. Kalo diputar ulang, kita bisa melihat perlawanan dari komunitas Pekerja seks, anak jalanan maupun waria. Bagaimana dalam pembuatannya seorang anak jalanan sengaja memasang dirinya di jalan saat razia tengah berlangsung. Kamera tersembunyi sengaja tetap menyala untuk merekam kejadian tersebut, ungkapnya.

Perlawanan perlawanan semacam tadi menggambarkan tentang perjuangan identitas yang selama ini disulut untuk membakar semangat mereka didalam perjuangan identitas, ujarnya.
Akan tetapi mukhotib menyatakan kekecewaannya saat bercerita tentang hasil video komunitas yang dibuat oleh kelompok gay. Dia mengatakan, " bagaimana kelompok gay, yang dipandang lebih mapan dari sisi itelektual, sosial dan ekonomi, hasil peroduksi videonya menggambarkan kekalahan." Diceritakannya bahwa apa yang difilmkan oleh komunitas ini adalah cerita, walaupun gay masih ada yang bisa dibanggakan, walaupun gay masih ada sisi positif yang diangkat, karena bisa jadi juara badminton dll. Kekecewaanya mencuat karena gambaran kekalahannya oleh karena orientasi seks yang berbeda. Bukan semangat perlawanan seperti kelompok lainnya. kalau saja ini terjadi pada kelompok waria, tentulah tidak membuat kaget. karena kelompok gay ini dipercaya memiliki talenta yang lebih baik dari kelompok marjinal lainnya.

Teman lama tadi menggangguk, raut mukanya sangat antusias menyimak cerita cerita tadi. sempat dia menanyakan keberadaan video hasil produksi teman teman ini.

Topik berganti lagi disaat feri menceritakan kegelisahannya terkait dana yang sangat besar, yang sedang menggelinding digelontorkan bagi program penanggulangan aids di negara ini. Kekhawatirannya mencoba menganalisis tentang ketidak efektifannya dana yang besar dengan haasil yang dicapai selama ini. Ulasan panjang coba diurai dengan menganalisa beberapa hal yang membuat ketidak efektifan terjadi.

Akan tetapi Mukhotib berpandangan lain, dia tidak sesederhana dengan apa yang dibayangkan oleh teman lama ini. Dia bilang, "Saya malah mensinyalir tentang Kolonialisme baru didalam respon HIV dan aids ini."Ungkapnya. Ada indikasi kuat bahwa sekarang ini negara yang kaya, dengan angka prevalensi rendah sedang mengintervensi negara negara miskin dan angka prevalensinya tinggi. Mereka seakan akan berhak untuk mengatur dan membuat negara negara penerima donor ini, menurut. Ini penaklukan baru, dan ini yang disebut
"KOLONIALISME BARU"
Huakk kk kkk kk kami pun tertawa, jangan jangan karena hiv maka ada program untuk gay? Atau karena gay maka program hiv itu ada? " tanya feri sembari berkelakar.
( Huh ,Sangat bias , kata Mukhotib padaku sembari mencibir temanku itu ). "bagaimana bisa seorang sekelas Ferri masih saja bias dengan carapandang yang selama ini tengah dibongkar habis dalam gerakan PKBI?" tanyaku pada Mukhotib.

masih banyak cerita lagi yang carut marut mengisi malam itu. Hingga saatnya kami pulang karena orang orang dirumah juga mempunyai hak untuk menikmati kebersamaan yang luar biasa ini.