Subscribe

Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Sabtu, Oktober 31, 2009

Mendobrak multikulturalisme liberal

Saat nyantai bersama dengan si Bos PKBI DIY, diruang bal bulnya alias smoking room, tak terduga olehku akan ajakannya untuk ikut menemaninya disebuah pelatihan di Hotel Satya Nugraha yang diselenggarakan lembaga ELKIS ( edukasi lembaga kajian Islam ).
Dengan berkendaraan roda dua kami masing masing meluncur ke tempat pelatihan. Hanya berselang kurang lebih 25 menit tibalah kami disana. Sambutan hangat panitia menghampiri dan menggiring kami langsung keruang makan lantai satu hotel tersebut.
Obrolan santai kembali berlangsung sebagai mengawali makan malam yang kuharapkan sejak tadi, karena perutku yang mulai berontak kelaparan sejak siang tadi. Memang gaya direktur yang nyantai selalu mengundang gelak tawa ditengah obrolan yang terkadang cukup serius sebenarnya. Najib dan nita dua orang teman Elkis yang sempat berkenalan denganku. Walaupun sempat roaming mencoba mengingat dan bertanya tentang siapa mereka, akhirnya kudapatkan jawabannya. Paling tidak aku mengenalnya sebagai panitia di pelatihan tersebut. Tak banyak yang kuingat, selain sindiran bosku yang mengkritisi tentang apa yang lembaga tersebut lakukan didalam kerja kerjanya selama ini.

Pukul 19.00 , saatnya sesi pelatihan dimulai kembali. Ini merupakan hari ke enam dari pelatihan panjang ,"ujar panitia membuka sesi. Beberapa pesan berupa pengumuman sengaja disampaikan , sebagaimana biasa terjadi dibanyak pelatihan. Seorang peserta bertanya, Bisakah nantinya kami mengirimkan tulisan tulisan ke Elkis nantinya untuk dimuat, jikalau peserta ini telah kembali ke daerahnya?". Panita kemudian menjawab, " ya boleh tetapi kita tidak menjajikan bahwa akan dimuat lho ya." Justru kemudian hal ini di review oleh Mukhotib sebagai bahan kritikan, sebagai suatu jawaban yang bijak akan tetapi sebenarnya sedang lari dari kenyataan, katanya sambil berkelakar.

Multikulturalisme Baru
Berawal dari pertanyaan, " apa yang menjadi alasan sesuatu itu menjadi sebuah kultur ?"
Agama, suku, ras, budaya, ideologi dll merupakan sebuah kultur yang perlu di" bela bela", kemudian patut untuk diperjuangkan ? Peserta dengan lugas menjawab, dari apa yang telah diperolehnya selama pelatihan enam hari tersebut. Organisasi, budaya yang sama, kelompok sosial, cita rasa , apresiasi, identitas. Lalu kalau saya menulis kata "WARIA" apakah ini ini bisa di sebut atau bahkan di akui sebagai sebuah kultur? Mukhotib melanjutkan pertanyaannya.

semua peserta hening dan berpikir. Serentak jawaban mengatakan ya, adapula yang hanya mengangguk angguk tampak ragu mengatakan ya! Saaat pertanyaan tersebut dibalik dengan bertanya kembali mengapa? karena waria juga mempunyai karakter, dan persyaratan yang tadi disebutkan oleh peserta sebagai sebuah kultur. Sebagai sebuah kultur, bagaimana kelompok waria tersebut juga perlu diperjuangkan? Semua peserta terhenyak menjadi bingung dibuatnya.

Multikulturalisme yang selama pelatihan ini mereka dapatkan, adalah multikultural stagnan. Multikultural mainstream yang dipahami sebagai multikultural liberal. Agama, ras , suku, bangsa, ideologi dsb.
Akan tetapi saat waria, anak jalanan, gay, pekerja seks juga memenuhi kriteria sebagai sebuah kultur, masih berat didalam kepala peserta untuk berpikir tentang perjuangan untuk mereka.
Mengapa? berbagai pertanyaan dan pendapat disampaikan oleh peserta yang mengatakan hambatan Agama menjadi hal dominan melandasi beratnya perjuangan untuk kelompok marjinal tersebut.

Kalau melihat kembali dari apa yang termasuk didalam multikulturalisme liberal, agama adalah salah satunya yang dibela bela, untuk ikut diperjuangkan. Akan tetapi disaat kelompok waria disebut sebagai salah satu kelompok yang perlu juga ikut diperjuangkan , mengapa agama sendiri melakukan fundamentalisme pada kelompok ini? Mukhotib mempertanyakan.
Menyikapi kegelisah saat berbenturan dengan agama, adalah dengan memandang agama sebagai bagian dari spiritualitas yang bukan selalu bernama agama. Biarkan kelompok ini memiliki spiritualitasnya sendiri, tanpa kemudian terinvensi dengan kata agama yang melakukan peradilan bagi keyakinan yang dipaksakan atas dasar fundamentalisme.

Dengan multikultaralisme baru yang bukan liberal tadi akan mendorong kelompok kelompok yang termarjinalkan tadi menjadi identitas sosial baru, katanya. Lalu bagaimana strategi advokasinya? mukhotib melanjutkan.
Pengorganisasian, kampanye publik dan legislasi sebagai suatu cara, yang harus dikerjakan bersama. Pengorganisasian akan mendorong komunitas pada sebuah kesadaran bahwa untuk perjuangan identitas tidak akan mungkin dilakukan sendiri. Berorganisasi adalah jawaban untuk hal itu. Maka dengan cita rasa, apresiasi dan cita cita yang sama organisasi ini akan menjadi sebuah identitas yang diakui sebagai identitas baru.
Kampanye publik, adalah upaya upaya untuk mempengaruhi opini publik. Bisa menggunakan media cetak hingga audio visual. Bisa pula menggunakan aksi aksi turun kejalan untuk menarik perhatian publik, jelasnya. contah media di jelaskan panjang lebar olehnya.
Legislasi, dalam bentuk legal draft, judicial review maupun counter draft legal dijelaskan runtut sebagai upaya mempengaruhi para pengambil kebijakan untuk membuat aturan aturan yang melindungu hak hak kultur sosial baru ini.

Pentingnya perjuangan ini, akan mampu pada akhirnya melahirkan sebuah blok sosial baru yang setara dengan blok sosial masyarakat yang selama telah ada. Keberadaanya mempunya hak hak yang sama didalam sebuah proses kehidupan, misalnya dalam hal lapangan pekerjaaan , membina keluarga, akses layanan publik bahkan didalam hal berpolitik. tidak ada kemudian pembatasan pada sektor sektor riil, hak mereka sama. Impian besar semacam ini akan mampu memberikan kontribusi bagi terciptanya penurunan angka prevalensi hiv dengan lebih nyata, jika dipandang dari penanggulangan hiv dan aids. Hal ini didasarkan pada sebuah kesadaran bahwa ternyata problem hiv dan aids bukannlah masalah di dunia klinis semata, akan tetapi merupakan relasi dengan problem HAM dan masalah Gender.

Saatnya memperjuangkan multikulturalisme baru, untuk kehidupan bernegara yang lebih baik.

Sepanjang perjalanan aku pulang, teringat gaya guyonan dan kelakar pada kemasan sebuah pembelajaran yang berat, menjadi suatu hal yang menarik untuk ditulis didalam blog ini. Kesempatan yang jarang sekali didapatkan oleh relawan sejadul diriku...

Impian dari bunga bunga idealisme meletup meledak terbawa didalam tidur panjangku..



Minggu, Oktober 04, 2009

Padang kenangan sejarah yang kembali terulang

Gempa Padang, Jambi dan Bengkulu , membuat saya kembali pada kejadian bencana yang dialami oleh Daerah istimewa Yogyakarta 3 tahun yang lalu. Kekuatan 7,6 scala richter tersebut lebih dasyat dari apa yang terjadi di kota saya, 5,9 scala richter. Walaupun demikian kerusakan yang ditimbulkan saat itu luar biasa parahnya, bahkan lebih dari 5000 orang meninggal dunia.

Kenangan itu, sangatlah membekas dalam ingatan saya. Pukul enam pagi disaat saya baru saja terbangun dari tidur, dikejutkan dengan bunyi gemuruh bagaikan suara hujan deras yang kemudian diikuti goyangan tanah dimana rumah terasa bergoyang hebat. Dengan cepat ku ambil langkah segera keluar dari rumah yang terdengar berdenyet , kretak kretek.Mencoba meraih pintu yang masih terkunci untuk segera dibuka supaya ku bisa keluar dari rumah yang saya kuatirkan bakal rubuh tersebut. " Gempaaaaaaa, KELUARRRRRRRRRR, Semua KELUARRRR, GemPaaaa....." teriakku sambil berlari keluar...
Semua orang, termasuk tetangga sudah juga berlari keluar rumahnya. Terlihat rumahku yang masih bergoyang, memang terasa agak lama goyangan itu. Kaki saya masih merasakan tanah yang bergoyang membuat kepalaku terasa sedikit pusing seperti orang yang mabok.

Selang beberapa waktu, gempa berlalu. Bersyukur dalam hati saya, melihat semua orang selamat. Bahkan rumah tua yang saya tempatipun tak mengalami kerusakan yang berarti.
Pandanganku segera beralih ke arah utara rumah, disana ada hamparan sawah luas sehingga sangat mudah bagi saya untuk melihat kokohnya gunung merapi kebanggan Jogja. Terlihat asap tebal mengepul dari puncaknya. Segera ku berpikir," oh gunung Merapi meletus, to "
Radio dan televisi segera menyiarkan gempa yang barusan terjadi. Ternyata mereka menyebutkan bahwa gempa tadi adalah gempa tektonik yang berpusat di selatan kota jogja, jadi bukan karena merapi meletus.....

Seperti biasa saya bergegas menuju Rumah sakit, tempat kerjaku. Karena gempa tadi tak membuat masalah dilingkungan atau bahkan rumah tuaku, sehingga saya bisa berlenggang pergi tanpa kekuatiran yang berlebihan. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, mata saya tak hentinya memandang kiri dan kanan jalan. Mencoba mengamati dampak gempa yang barusan terjadi. Tak ada kerusakan yang berarti hanya beberapa genteng yang merosot atau kaca kaca yang pecah di beberapa estalase, selebihnya aman. Jalan begitu sepi, kosong tak sepadat biasanya pada jam jam seperti itu.

Sesampai dirumah sakit, saya parkir ditempat biasanya. Beberapa karyawan lain, terlihat sedang membicarakan gempa yang barusan terjadi pagi tadi. Dengan tak banyak basa basi segera saya menuju ruang kerja. Sama karyawan sedang membicarakan topik gempa. Tak lama waktu berselang , puluhan pasien datang pada waktu yang bersamaan. Terjadi kepanikan yang luar biasa. Dalam waktu yang tak lama ratusan pasien telah tergetak di UGD yang biasanya hanya menampung sekitar 15 - 20 pasien saja. Mereka adalah korban gempa di Kab,Bantul. Kini jumlah pasien yang masuk hampir mencapai seribu orang.....

Semua berteriak minta tolong, banyak dari mereka minta didahulukan, semakin padat, semakin banyak. bahkan lorong lorong jalan di dalam rumah sakit penuh dengan korban gempa tadi.
Pusing, prihatin dan sedih jadi satu. saya tak tahu, bingung mana yang akan ditolong, semua harus ditolong. Kedaaan saat itu begitu kacau, tak ada tempat lagi. Ratusan orang bergeletakan didalam maupun diluar rumah sakit. Halaman parkirpun menjadi tempat korban korban dengan bergeletakan di jalan.

Petugas rumah sakit yang terbatas itu harus melakukan pekerjaan yang sudah diluar batas kemampuannya, akan tetapi korban tetap harus mendapatkan pertolongan saat itu.
Berjalan dilorong dengan melompati para korban. Infus yang bergelantungan tak beraturan. Oabat obatan yang semrawut juga harus keluar dari apotik. beratus ratus botol di sebarkan di berbagai lorong dan halaman parkir. menjahit luka bagaikan menjahit baju robek saja. Ruang radiologi terjadi antrean panjang dari pasien. Tak elak lagi mesin foto rongent itu cepat sekali panas, hingga gambarnyapun tak begitu baik, akan tetapi memang harus berjalan, demi memberikan pertolongan...

Saiang semakin panas, kini ribuan orang bergeletakan. Tidak ada air minum buat korban, apalagi makan. Banyak orang yang tak membawa identitas semakin membuat sulit para pekerja rekam medis yang sedang membuat catatan medis pasien...
selang beberapa waktu, beberpa orang luar menawarkan bantuan sebagai relawan.
Beruntunglah mereka membantu mengangkat, memeindahkan bahkan mendorong bed ke radiologi maupun kamar operasi. Tak tanggung tanggung ratusan orang harus menjalani operasi tulang. Jenazah jenazah yang bergeletakan berbaur dengan pasien lain, segera dipindahkan ke kamar jenazah di belakan rumah sakit. Dan saya sendiri , tak hentinya berkeliling membantu korban yang harus segera mendapatkan pertolongan.

sore hari itu posko bantuan segera dibuka. siaan radio yang terus menerus menyiarkan berita bencana membuat sebagian orang datang ke rumah sakit dengan membawa bantuan seaadanya, mie instant, berasa, uang, roti, air mineral, baju apapun semua dibawa. Tak mau ketinggalan novotel Hotel yang terletak di depan rumah sakit juga menyubangkan nasi bungkus masakan mereka sendiri. dan hal itu terjadi setiap harinya. Relawan relawan juga tak henti hentinya bekerja dengan waktu. Kelelahan itu tak muncul diraut wajah mereka, hanya semanagt dan menolong yang tampak di depan mata. Tiga hari terus menerus saya bekerja, hampir 24 jam kita semua bekerja, hingga seminggu kemudian...

Kini bencana tadi melanda kota Padang, Jambi dan Bengkulu. Tayangan TV memberikan gambaran yang jelas seperti apa yang tengah terjadi. Sejarah Jogja terulang kembali di Padang. Sebagai orang Jogja yang pernah mengalami hal serupa, tentunya saya bisa merasakan seperti apa yang dialami oleh orang orang Padang saat ini. Air mata saya seringkali tak sadar menetes keluar disaat saya menyaksikan tayangan beberepa stasiun TV yang terus menerus memberitakan bencana di Ranah Minang itu.

Itulah sebabnya pengalaman yang saya alami saya bagikan melalui situs pertemanan sosial "Facebook" untuk sekedar berbagi, dengan apa yang pernah saya alami, saya rasakan, dan saya lakukan." hendaknya kekeurang dimasa yang lalu bisa menjadi tonggak untuk mengantisipasi hal hal yang mungkin saja terjadi disaat merespon keadaan darurat yang diakibatkan oleh bencana Gempa. harapan kita semua , pastilah jangan ada gempa lagi, akan tetapi jika hal tersebut kembali harus terjadi, pengalaman dari rentetan sejarah akan segera bisa memberikan respon yang lebih cepat, lebih baik dengan mengutamakan misi kemanusiaan....

Mengucapkan Duka cita yang sedalam dalamnya bagi keluarga yang ditinggalkan oleh saudara saudara kita yang meninggal , semoga seluruh keluarga di berikan kekuatan dan ketabahan didalm menerimanya. Turut prihatin atas keluarga, sahabat, handai taulan yang menjadi korban dari bencana gempa di awal oktober ini.....semoga diberikan kepulihan dalam waktu yang lebih cepat, sehingga bisa kembali didalam berkarya dan melanjutkan cita cita ke depan...