Subscribe

Kamis, Februari 04, 2010

Saat Orang Bilang Mereka Sampah, Kami Bilang Mereka Keluarga

Tehnologi pengobatan HIV kini telah maju, sejak penemuan ART ( Antiretroviral ) obat pengendali Virus dalam tubuh manusia. Tetapi test adalah Hak, hak anak jalanan untuk memilih, mau melakukan diawal, atau menundanya. Tetapi semua ada kosekuensinya, semangat konselor VCT PKBI mengawali acara VCT Mobile, di MiLas cafe, 17/11.

Dengan konsep yang agak berbeda dengan layanan VCT yang telah ada, kegiatan ini memikat 18 remaja jalanan melakukan test HIV dengan sukarela, dari sekitar 25 yang hadir. Konsep yang mengedepankan konseling group diawal sebagai ruang diskusi dan interaksi untuk mereduksi kekuatiran dan memberi dorongan melakukan test. Hak memilih klien yang juga diprioritaskan, memberikan ruang bagi klien untuk menolak jika merasa belum siap, semua ditegaskan tidak ada paksaan, jelasnya.

Eby, koordinator Milas, di akhir acara menyampaikan rasa puasnya, akan layanan vct mobile ini. “ saya benar benar puas melihat semua proses, penjelasan diawal sangat jelas, padat dan mudah dipahami, apalagi ada konseling dan pemberian informasi dalam bentuk bentuk group, sangat interaktif,” katanya.

Dalam kritikannya, dia menceritakan keterbatasan akses layanan kesehatan Rumah sakit bagi anak anak ini. Konseling yang terbatas dan juga kebijakan anggaran yang masih minim. Akan tetapi dirinya juga merasa lega saat dijelaskan , bahwa layanan VCT semakin banyak disediakan di beberapa Rumah sakit lain, dan bukan hanya RSUP Dr Sadjito saja. Bahkan searang telah ada layanan VCT mobile seperti PKBI ataupun dinkes kota.

Hal senada disampaikan oleh Kresna, konselor Puskesmas Gedong tengen, pada kesempatan yang terpisah. “ Kemaren ada nak jalan yang mengeluh, mengalami kencing nanah. Kemudian anak ini malah bertanya , apakah kami bawa ambulan atau tidak. Ambulance dengan pikiran berarti bisa periksa keluhannya, “ kata Kresna menggambarkan kejadian dikomunitas. Sayangnya kami memang tidak membawa alat alat, untuk periksa,” sesalnya.

Milas adalah wadah yang bergerak untuk misi sosial khususnya untuk remaja jalan. Ada berbagai kegiatan seperti play group, seni dan handcraft, Resto vegetarian dan pertanian organik. Semua di fokuskan untuk anak anak jalanan. Dari mereka ada yang telah berhasil mengembangkan pertanian maupun usaha kerajinan, jelasnya panjang.


Tak Ada Tempat VCT, Mobilpun Jadi

Hujan deras yang mengguyur jalan magelang Minggu sore 27/12, tidak mengurungkan niat komunitas remaja jalan untuk mengikuti post saat pengambilan hasil test HIV. Diteras rumah berukuran 2 x 5 meter di pojok perempatan Jombor, sekelompok remaja yang basah kuyub menunggu. Perempuan dan laki laki bahkan ada juga balita yang ikut bersandar didinding teras, dengan tangan mendekap dada, menggigil menahan dingin, terkatuk gemetar menghindar dari genangan air dan atap teras yang bocor .

Seorang remaja jalanan, Budi (17) menyampaikan cerita tentang kasus yang menimpa temannya . “ ngopoe matamu njendol biru gedhe banget?” . Razia remaja jalanan dilakukan aparat satpol PP sabtu malam kemarin. Gundul merupakan salah satu dari yang tertangkap razia. Saat tertangkap keadaan Gundul sedang tertidur dengan mendekap Kencrung andalan nafkahnya untuk mengamen. Tulisan “ Bubarkan Satpol PP “ mengundang kemarahan petugas razia. Tak elak bagi gundul , akhirnya menjadi sasaran kekerasan dengan pemukulan oleh petugas. “ gara gara tulisanmu ki aku diantemi “ ujar Budi menirukan temannya.

Sering kali persoalan tempat menjadi masalah. Jaminan kerahasiaan dengan sarana tempat sebagai pendukung menjadikan masalah tersendiri bagi pelaksanaan voluntary conseling and testing (VCT) dikomunitas ini, apalagi dengan cuaca hujan. Keadaan ini memang berbeda jauh jika dibandinkan dengan kondisi komunitas lainnya seperti gay ataupun Pekerja seks. Tempat banyak tersedia dengan kondisi lebih nyaman, ujar konselor VCT.

Gara , community orginizer PKBI DIY mengatakan, sebenarnya pendekatan sudah dilakukan untuk meloby beberapa warga sekitar yang mempunyai rumah ataupun tempat untuk sekedar bisa digunakan komunitas ini melakukan VCT. Berbagai masalah dengan warga yang akhir akhir ini terjadi membuat mereka enggan untuk meyediakan tempat bagi remaja jalanan, ujarnya.
Mobil Klinik keliling PKBI DIY merupakan alternatif jawaban. Selain sebagai sarana transportasi ternyata mobil bisa dipergunakan sebagai ruang konseling. PKBI DIY mempunyai dua sarana alat transportasi yang sering digunakan sebagai layanan klinik mobile, kata Yustin admin griya lentera.



Keroncongpun Wadah Ekspresi Kaum Muda

Ruang kreasi seni musik keroncong untuk anak anak hampir tak pernah terdengar. Kesuksesan group musik keroncong Trisnawara di ajang Festival Keroncong DIY seakan memberikan angin segar bagi munculnya kelompok remaja yang ingin berkecimpung dalam musikal ini.

Stigma yang melekat bahwa keroncong miliknya para orang tua kini tidak lagi. Terbukti munculnya kelompok baru yang menamakan dirinya “KANAYAN” Keroncong Alternatif Anak Muda Godean, telah memebrikan warna tersendiri bagi penikmat musik, khususnya keroncong.
Imoeng, dosen ISI ( institut Seni Indonesia ), mulai mirintis kecintaan anak anak muda pada aliran musik ini. Kanayan adalah generasi II dari kesuksesan Trisnawara menjuarai beberapa festival tingkat Pronpinsi tahun ini. “ anak anak muda ini perlu wadah untuk berekreasi, sehingga mereka tidak hanya dihakimi para orang tua dengan tuduhan negatif, katanya.

Sementara itu, disela sela persiapan mereka untuk pertunjukan di hotel Sheraton dalam rangka sebagai group pengisi acara Workshop Dinas Pendidikan, Ahmad, dosen Vokal ISI juga telah menyiapkan beberapa anak SD dan SMP yang pernah menjuarai lomba vokal, ikut berperan serta meramaikan acara tersebut.

Semoga acara nanti, 09/12 akan memberikan nuasa tersendiri, syukur bisa membuat para peserta workshop jatuh hati pada keroncong , kata Imoeng. Latihan akan dilakukan secara intensif beberapa hari ini di benteng Vredeburg.


Rabu, Februari 03, 2010

KPI Tuduh Program Tak Tepat Sasaran, Benarkah Demikian ?

Bantuan Dana sosial acapkali menuai masalah. Apalagi jika perencanaan program hanya merupakan gelontoran kebijakan yang sifatnya dari atas ke bawah, tanpa keterlibatan komunitas sebagai sasaran program.Program perekonomian produktif yang diluncurkan Departemen sosial untuk pekerja seks telah berjalan selama 2 bulan. Hibah dana sosial ini menurut rencana , sifatnya hanyalah sementara, dan merupakan pilot project dengan mengambil beberapa kota sebagai sample dari sekian propinsi saja. Kucuran dana masing masing sebesar 10 juta rupiah diberikan pada lima belas pekerja seks yang berada di empat titik sentinel di Jogja secara bertahap. Akan tetapi ternyata program ini sempat menuai protes.

Salah seorang aktivis divisi pekerja seks PKBI DIY mengatakan, program ini sempat membuat kecemburuan pekerja seks perempuan lain yang tidak mendapat bantuan. Bahkan sebagian pekerja seks perempuan di jalan Magelang pernah menggelar demo di kantor PKBI DIY untuk meminta kejelasan penerimaan dana Depsos.

Menurut penjelasan aktivis, diawal proses sosialisasi program telah dilakukan pada para pekerja seks, PKBI tidak menyebutkan berapa besar angka nominal yang akan diberikan. Hal ini dilakukan untuk mengukur keseriusan pekerja seks mengikuti program, apakah benar benar karena komitmen ataukah karena besarnya jumlah uang. “Bahkan ada pekerja seks yang bilang, opo yo tenan? Jangan jangan hanya omongan lagi,” katanya menirukan mbak mbak PS yang pernah dikecewakan janji janji pemerintah.

Proses seleksi penerima bantuan bukan dilakukan PKBI, melainkan oleh pengurus organisasi pekerja seks di masing masing titik sentinel. Perencanaan jenis usaha, pemilihan peserta penerima bantuan, hingga pengelolaan hasil semuanya dibuat oleh komunitas pekerja seks saat berembug didalam organisasinya masing masing. PKBI DIY hanyalah memfasilitasi pelatihan dan membantu di pendampingan managemen keuangan yang dilakukan oleh para community orginizernya (CO ), bahkan buku rekening mereka sendiri yang pegang dan atas nama mereka pula, ujarnya.

PKBI DIY , lembaga yang ditunjuk untuk mengawal program tersebut membuat sebuah pelatihan untuk membantu penerima dana mampu untuk mengolah keuangan yang diberikan, di hotel kayu manis beberapa bulan yang lalu.

Tuduhan tidak tepat sasaran juga sempat dilontarkan oleh koalisi perempuan Indonesia (KPI ) yang mungkin mendengar laporan dari beberapa pekerja seks yang kecewa pada PKBI DIY. Lembaga ini mempertanyakan penerima bantuan yang sebagian besar bukanlah pekerja seks yang masih aktif.

Mukhotib MD , Dirpelda PKBI DIY justru membatahnya dengan menjawab, “ pertanyaan yang salah, tidak tepat sasaran menurut siapa ? kalo mau bertanya tepat tidak tepat sasaran bukan dengan PKBI, tapi bertanyalah pada pengurus organisasi pekerja seks dimasing masing titik itu!” katanya.

Dirinya justru mempertanyakan kembali nalar tentang pekerja seks sebagai perempuan yang dilacurkan pada lembaga KPI. “ Jika nalar pekerja seks merupakan perempuan yang dilacurkan, maka memberikan bantuan pada mantan pekerja seks merupakan hal yang tepat. lho inikan upaya agar mereka tidak kembali lagi menjadi pekerja seks, kalo kita mau berpikir menggelitik dalam konteks perempuan yang dilacurkan seperti bayangan KPI”, ujarnya.

Nining ( bukan nama sbenarnya ), salah satu penerima bantuan ekonomi produktif mengatakan,” memang susah mas, orang orang disini tuch. Dulu saat diajak aktif di organisasi tidak ada yang mau,diajak pelatihan pasti banyak alasan yang akhirnya ndak ikut, tapi saat uang turun semuanya berebut, njur protes.”

Sosialisai terkait dana Depsos ini telah disampaikan, bahkan dengan undangan. Tapi sedikit sekali pekerja seks yang tertarik untuk bergabung. Pengalaman akan kekecewaan dari janji pemerintah yang berulangkali terjadi menjadi penyebab keengganan mereka. Akhirnya berimbas pada program DepSos yang secara serius dikawal PKBI DIY ini, katanya.

“ dulu saya hanya momong mas, kini sedikit sedikit bisa punya penghasilan. Lumayan jual matengan sama sembako, ya kadang ramai kadang sepi.” Ujar Nining tersenyum. Kesulitan yang masih dihadapinya hanyalah masalah pencatatan, karena banyak buku. Tapi karena ada CO PKBI yang terus mendampingi dan membantu kesulitan tersebut bisa teratasi, ujarnya.


Persoalan Perempuan Terinfeksi HIV di Indonesia Belum menjadi Prioritas

Persoalan HIV pada perempuan belum menjadi prioritas perhatian pemerintah. Program KPAN ( Komisi Penanggulangan AIDS Nasional ) tahun 2010 – 2014 dititik beratkan pada dua program besar Penasun (pengguna napza suntik ) dan seksual transmisi ( gay,waria dan pekerja sex ).

Aji, koordinator media dan komunikasi KPAN mengatakan, kampanye pencegahan untuk perempuan dan ibu rumah tangga masih mengunakan media cetak seperti buletin dan leaflet . Baru baru ini KPAN juga telah memproduksi 3 film dokumenter tentang kasus pada perempuan, katanya. Rencananya KPAN akan membangun juga radio komunitas di lima daerah.
Data Direktorat jendral pengendalian penyakit menular dan penyehatan lingkungan ( DITJEN PP&PL) mencatat, hingga September 2009 angka HIV di Indonesia mencapai 18442 kasus , dengan rincian 4701 kasus perempuan dan 13564 kasus pada laki laki, sedangkan 87 kasus tidak diketahui.

Presentase kasus AIDS pada penasun berdasarkan jenis kelamin sampai dengan September 2009, laki laki 91,72 %, perempuan 7,67 %, yang tidak diketahui 0,63%. Dari 7498 kasus pada penasun, terpilah data perempuan 574 kasus dan laki laki 6877 kasus .
Angka rasio 1:3 antara kasus pada perempuan dan laki laki yang ditunjukkan Depkes, tampaknya akan berubah sama atau bahkan bisa lebih tinggi pada perempuan, jika ditarikan benang merah transmissi seksual sebagai faktor resiko antara penasun laki laki pada pasangannya . Tentunya angka kasus pada perempuan juga akan semakin meningkat.
Pemberi tahuan status HIV pada pasangan yang masih menjadi persoalan ditengarai menjadi salah satu pemicu meningkatnya angka pada perempuan , dan hingga kini masih menjadi polemik tersendiri.“ Apakah benar laki laki mau memberitahukan status hiv pada pasangannya ? Jika tidak , bagaimana perempuan menolak para suami yang tidak mau menggunakan kondom saat berhubungan seks?’, kata Dr. Evalina Sp.GKj,Depkes RI pada Swaranusa.net, 21/12

Inang Winarso,( Koordinator program KPAN wilayah Jawa dan Bali ) juga membenarkan peningkatan kasus HIV pada perempuan merupakan akibat penularan dari pasangannya yang positif. “Kerentanan perempuan untuk tertular dari pasangan yang positif lebih tinggi jika dibandingkan dari kebalikannya,” katanya. Merespon penularan yang terjadi pada ibu rumah tangga, menurutnya PICT (provider initiation counselling and testing ) merupakan cara yang paling efektif, sekalipun program ini masih pula diperdebatkan.
Dalam keterangannya, Inang mengatakan, konseling pasangan dalam PICT , tetsnya di inisiasi oleh dokter ataupun konselor . Konseling akan memberdayakan pasangan yang positif dan membantu melakukan beban tanggung jawab yang diberikan untuk memberitahukan status HIVnya pada pasangan.

Wacana tentang Program pemberitahuan status HIV pada pasangan yang bersifat wajib , hingga kini belum ada. Menurutnya, akan lebih baik untuk memberikan tanggung jawab lebih pada klien positif dengan mekanisme waktu yang ditentukan. Jika tindak sanggup maka dokter atau konselor bisa mengambil tanggung jawab itu, tapi masih hal inipun masih dalam bahasan, katanya.

Masih ada kemungkinan pendekatan lain menurutnya, seperti pengembangan model ,pemberitahuan pasangan oleh klien dengan batasan waktu tertentu atas pilihan yang didasari atas kesepakatan bersama antara klien dengan provider. “ Tapi pilihan waktunya jangan terlalu lama,” katanya. Jika waktu yang telah disepakati nantinya telah habis, dan klien juga belum mampu untuk mengatakan status hivnya maka konselor mempunyai hak untuk memberitahukan pada pasangan klien yang positif tersebut.

Akan tetapi , layanan konseling hiv ternyata masih dihadapkan pada fakta tentang kualitas yang dinilai kurang baik oleh sebagian masyarakat.Mufi , Petugas Outrech PKBI DKI, mengatakan dari 17 orang konselor yang tugasnya tersebar 6 lapas dan rutan Di DKI, yang dikenal baik kualitasnya hanyalah 6 konselor saja. Dirinya mengatakan, konselor yang lain kurang disukai ,oleh komunitas . “ tahu hiv ? .....Tahu aids?....udah test “ ucapnya menirukan konselor tersebut. Semua terkesan hanyalah textbook , bahkan informasi yang diberikannyapun tidak terlalu banyak, kata Mufi.

Depresi berat pasca test , sangat berpotensi terjadi sebagai dampak rendahnya kualitas konseling yang diberikan . Sudah dua orang dampingannya yang mengalami depresi tersebut pasca mengetahui status hiv dengan kualitas layanan yang kurang baik, katanya.
Inang winarso memang tidak menampikkan fakta adanya kualitas konseling yang kurang baik di banyak VCT center. Tetapi dirinya memandang , akan butuh waktu lama, juga biaya yang besar untuk membangun konselor yang buruk menjadi baik. Padahal epidemi virus ini perlu segera direspon, Menurutnya akan lebih efekti dan efisien jika metodenya saja yang digeser dari konseling personal menjadi konseling pasangan atau kelompok, dengan mengefektifkan konselor berkualitas baik yang telah ada. Dirinya mencontohkan keberhasilan konseling kelompok di Bandung, dan Makasar ,disana tidak menunjukkan dampak negatif, menjadikanya bukti, untuk menepiskan kekuatiran masyarakat..” Jika satu kampung melakukan test, proses dialog akan terjadi jika istri dan suami saling sama sama melakukan test “ katanya.

Ketimpangan gender dan potensi kekerasan terhadap perempuan ,yang berdampak pada perceraian sepenuhnya disadari Inang. Perempuanpun menjadi korban dan harus pula menanggung beban ganda yang semakin menumpuk pada dirinya.

Perceraian merupakan masalah ikatan hukum, tak bisa dihilangkan karena telah diatur dalam hukum perkawinan, jikalaupun terjadi maka tanggung jawabnya bisa di berikan pada masyarakat dengan membangun semangat gotong royong, katanya.Kalaupun terjadi masalah kekerasan dalam rumah tangga, karena status HIV perempuan maka suami harus dipidanakan, karena merupakan tindakan kriminal, ujarnya.

Inang berpendapat, jika masalah ini tertunda sama saja dengan menyimpan bom atom lama lama, dan perceraian merupakan hak laki laki seperti di atur dalam undang undang. “Dan ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama” , katanya. Proses tersebut akan menempatkan perempuan pada pemiskinan yang sesungguhnya.Banyak sekali program, untuk menurunkan angka pemiskinan di Indonesia, katanya. Program Pemberantasan Pemiskinan Perempuan ( PM PM ) merupakan salah satu, misalnya.

Disinilah keterkaitan masalah HIV sebagai fakta medis , dengan masalah HAM khususnya hak sosial Ekonomi dan persoalan gender, kata Inang. Sayangnya sinergitas persoalan belum disadari oleh oleh Donor . Dalam masalah HIV mereka hanya mau mendanai program klinisnya saja, sedangkan di isu pemiskinan hanya berjalan sendiri pada treknya. Hingga kini menurut Inang belum ada lembaga donor yang mau mendanai ketiga isu tersebut secara sinergis.
Menanggapi wacana adanya konspirasi Global yang dilakukan negara donor ,Inang membenarkan . Konferensi Internasional tentang iklim dunia di Kompenhagen, menunjukkan hal tersebut saat tidak mencapai kesepakatan, katanya.

Selama ini Lembaga donor mendikte kita hanya untuk menangani masalah medisnya. Hal ini terjadi disebabkan 70% anggaran penanggulangan aids di negara ini tergantung donor , kata Inang.

Fakta lain, bisa dilihat pada tingginya angka di negara Afrika. Seakan akan epidemi virus ini dibiarkan mengembang. Dengan semakin tingginya kasus Aids maka kebutuhan penggunaan obat obatan yang diproduksi oleh negara maju akan menguntungkan perusahaan Farmasi yang ada di negara maju, kata Inang. Angka kematian yang tinggi menurutnya akan mengurangi jumlah penduduk dan membawa negara afrika pada income perkapita yang meningkat, dengan begitu maka daya beli masyarakatnya untuk mengkonsumsi barang barang import dari negara donor juga meningkat, jelasnya.

Kompleksitas permasalahan HIV merupakan konspirasi global yang menurut Inang sangat sulit untuk terlepas dari jeratan. Cara cara penjeratan yang menggunakan hutang luar negeri dan mengatasnamakan bunga sebagai hibah bersyarat untuk mendikte Negara penerima bantuan, untuk melakukan program program dari negara donor. Guideline yang menjadi standart kerja untuk dilakukan negara miskin , tidak mempunyai perspektif gender didalam implementasinya dan pada akhirnya berdampak pada pengabaian hak hak perempuan.