Subscribe

Sabtu, Februari 28, 2009

Kabut Situ Patenggang

Sejenak melepas lelah setelah seharian berkutat dengan masalah HIV. Menikmati suasana alam kabupaten Bandung mungkin terasa menyenangkan.Kebetulan pak Edi sutrisna berbaik hati untuk meminjamkan mobilnya. Bersama dengan beberapa teman staff KPA kabupaten Bandung , kami berjalan jalan.

Kabupaten Bandung, adalah salah satu kabupaten di Jawa barat yang mempunyai potensi wisata yang luar biasa. Mulai dari waduk siguling, kawah putih, danau situ patenggang, situ cileunca, dan wisata agro wisata seperti perkebunan teh maupun strawberry.

Karena waktu kami tidaklah longgar, maka Situ patenggang menjadi tujuan utama tour ini.
Menyusuri jalan ke arah selatan kota Soreang, kami temui pemandangan alam yang indah.
Suasana pengunungan dengan pertanian dan teras siring memadukan keelokan hijau daun dan tata tanam yang menakjubkan.

Sesampai di kecamatan Ciwidey, banyak sekali perkebunan strawbery yang terhampar di kanan kiri jalan. Banyak sekali papan iklan menawarkan hasil perkebunan tersebut, bahkan diantaranya menyajikan wisata petik buah ditempat. Tak henti hentinya guide kami " Kang Wawan" berceloteh semua potensi wisata di daerahnya. Kang Wawan adalah salah satu staff KPA kabupaten Bandung. Gayanya yang nyantai abis, membuat perjalanan kami terasa sangat menyenangkan. Bahkan gelegar tawa seakan menyatukan perbedaan suku, budaya yang berbeda.

Sesekali mobil berhenti di perkebunan teh yang kami lewati. Sejumlah gambar sebagai kenangan diabadikan dengan beberapa jepretan dari kamera yang telah disiapkan.
Tak henti hentinya pemandangan itu memukau kami. Ternyata tinggalan kolonial Belanda masih menyisakan keindahan, bukan hanya gedung tua saja akan tetapi haparan tanaman teh yang subur. Seakan ini tak adil bagi para leluhur. Dulu keindahan ini mereka yang ciptakan, namun tak banyak orang mengerti dan menghargai bahwa keringat dan penderitaan pendahulu bangsa menjadi tumbal pada hamparan teh yng kami lewati sekarang. Perjalanan kami teruskan..

Sebuah danau yang cukup luas, dengan pulau yang tampak di tengahnya, Situ Patenggang.
Berdecak menahan kagum. sebuah danau diatas pegunungan dengan hawa dingin ada di hadapan kami. Sejumlah warung dan toko buah tampak berjejer di pintu masuk lokasi wisata.

Saat kami turun dari mobil, sejumlah pedagang Strawberry bergegas menghampiri rombongan. Salah seorang teman kami langsung memborong buah mungil, merah dan rasnya asam manis tersebut. Katanya murah, beda jauh dengan harga di Jogja , satu kotak besar strawberry hanya seharga 5000 rupiah. Pantaslah temanku menyambar diskon dan langsung memborongnya.

Sejumlah warung kecil juga menjajakan minuman dan makanan. Bandrek, minuman khas daerah bandung, sangatlah cocok diminum sebagi penghangat badan di cuaca dingin seperti tempat wisata situ patenggang. Harganya, hanya 3000 perak saja untuk ukuran gelas kecil dan kita bisa langsung meneguknya. Wuah enak sekali rasanya seperti ada rasa rempah dan aroma khas dan hangatnya langsung bisa terasa di tubuh.

Tukang perahu juga sudah siap mengantarkan kami untuk berkeliling danau. Akan tetapi karena cuaca sudah berkabut, dan hari mulai tampak gelap, akhirnya kami memutuskan untuk mengurungkan niatan berperahu tersebut.

Terheran aku dengan sosok Kang Wawan ini, selain penuh rasa humor, rupanya satff KPA ini sangat terkenal. dari sejak kami berangkat hingga Lokasi situ patenggang banyak sekali orang bertegur sapa dengannya. dari percakapan mereka, tampak sekali kedekatan diantaranya. Mulai dari sopir angkot, tukang parkir, pedagang buah, tukang perahu, anak anak motor, sampai pejabat pemda. Dan tidak tanggung tanggung, hal ditunjukkan dari kota Soreang hingga Situ pategang yang jaraknya jauh sekali.
Kenapa tidak mencalon caleg aja Kang ?

Cuaca sudah gelap, kabut mulai turun. Jarak pandang mobil hanya beberpa meter saja karena tebalnya kabut. Bertepatan dengan suara Adzan Magrib kami berhenti sejenak untuk melaksanakan ibadah bagi teman teman Moeslem. Sesampai di Ciwidey, rombongan mampir ke LSM remaja PKIRR. Semacam LSM remaja yang bergerak di isu kesehatan reproduksi. Semua anggotanya kebanyakan anak sekolah. KIE ( komunikasi informasi dan Edukasi ) aktivitasnya. Kebetulan kakang Wawan yang membinanya.

Setelah beberapa waktu kami berdiskusi, pesanan bakso segede kepala bayi disuguhkan. Wah gimana rasanya nich? Kebetulan di depan PIKRR ada warung bakso tempel yang menjual bakso dengan ukuran segede kepala orang. Isinya ternyata ada ati sapi dengan daging cincang. Baru makan satu saja di jamin teler, gaimana tidak neg kalo ukurannya diluar kewajaran. kalo soal harga, murah kog.. apalagi saat itu gratis, jadi murah banget.

Selama perjalanan banyak catatan menarik tentang kabupaten Bandung trans situ patenggang. Bahwa perilaku beresiko adalah fenomena sosial yang faktual dibalik potensi alam dengan daya tarik wisatanya. Ada potensi eidemi yang mengancam. Disaat informasi seksualitas masih ditabukan, cara pandang belum di bongkar dan stigma kuat masih mengekang.


Sebuah respon sangat dibutuhkan untuk upaya upaya pencegahan maupun penanggulannya. Kabupaten Bandung yang berslogan " Kota Beragama" akan menina bobokkan masyarakatnya terhadap epidemi HIV jika, semua stigma yang menempel pada penyakit satu ini tidak segera direduksi tau bahkan akan berakibat pada meluasnya epidemi dan mengancam seluruh fasilitas, tatanan kehidupan dan masyarakat.

Sekarang waktunya berbuat, dan lakukan perubahan.
Situ patenggang peace luv and u

Jumat, Februari 27, 2009

Jejak kaki di kota Soreang

Selepas dinas malam di RS, ternyata waktu belum berpihak padaku untuk, segera tidur.
Waktu kini jam 11.00 siang, sekelompok anak anak play group begitu ceria bersama orang tua dan guru mereka bertandang ke rumah salah seorang temannya yang sedang merayakan hari ulang tahunnya. Tampak keceriaan itu dengan sejumlah anak yang lari kesana kemari mengejar angsa yang lalu lalang dirumah si teman yang ulang tahun.

Udara yang teduh , ditengah hawa pedesaan membuat diriku kembali menulis.
Teringat minggu lalu saat perjalanan membawaku ke kota soreang, ibu kota kabupaten Bandung, Jawa barat. Jika dibandingkan kota tersebut, kesejukan disini tidaklah seberapa, akan tetapi suana desa yang tenang seakan mengembalikan memoriku akan kota soreang dan sekitarnya.

Kota yang tenang, dengan tata wilayah yang rapi, jauh jika dibandingkan dengan kota Bogor. saat itu aku tinggal di sebuah hotel kecil yang bernama " Antik ". Antik sesuai dengan keadaanya, serba sederhana bahkan lebih tepat jika disebut losmen daripada hotel. Fasilitas yang terbatas, dengan bed dan kamar mandi yang jauh dari kata bagus layaknya sebuah hotel. Walaupun begitu menurut keterangan orang setempat, hotel Antik ini merupakan satu satunya penginapan di kota soreang, yang berdekatan dengan kompleks Pemda.
Saat kami menginap disitu, ada serombongan pemain bola yang kebetulan juga menginap di Hotel, Persib kata orang. Klub bola kebanggaan masyarakat Jawa Barat. Maklumlah hari itu mereka akan bertanding di Stadion yang tidak jauh dari penginapan tersebut.

Pagi pagi kami sudah sampai ke lokasi tempat pelatihan merespons tantangan epidemi HIV/AIDS dalam konteks HAM yang berperspektif gender. Tempat tersebut ada di gedung sekda.. tepatnya, balai Kandaga di lantai III. Sebuah ruang sidang yang luar biasa luas,
biasanya di gunakan untuk meeting besar, mungkin kapasitasnya bisa menampung dua ratus orang, pokoknya sangat lega. Sejumlah panitia dan staff KPA juga sudah hadir dan siap ditempat tersebut.

Acara pertama kali di buka dengan sambutan, baik dari penyelenggara maupun dari KPA. Drs. Edi Santoso selaku sekertaris KPA memberi sambutan dan sekaligus membuka acara.
Trainningpun dimulai. Sama halnya dengan kota bogor, bahwa penyelengggaran di lakukan dalam dua hari. Hari pertama untuk para pengambil kebijakan dan hari kedua oleh para praktisi. Metode yang dipakai juga sama. Disebut pendidikan orang dewasa karena semua sumber materi dan diskusi, berawal dari pengalaman peserta sendiri. Sepertinya hal ini baru buat para peserta, mereka terlalu terbiasa dengan model trainning yang " one way ". Karena hal baru inilah, menurut peserta menjadi menarik.


Catatan demi catatan terungkap disini. Problem HIV AIDS masih dipandang milik pelacur, maupun waria dan IDU. Sebagian peserta masih menganggap bahwa masalah tersebut sangat jauh dari kehidupan mereka. Kata " Baik baik " tetap saja mewarnai proses proses diskusi, menunjukakan stigma yang begitu kuat pada penyakit satu ini. Anggapan negara moslem melandasi pemikiran bahwa penyakit ini lahir dan berkembang karena moralitas bangsa yang kian rusak dan menurun. Sex bebas dengan menitik beratkan perempuan
yang bekerja sebagai pekerja sex atau sering di sebut dengan kata pelacur. Poligami juga didasarkan pada sunah Nabi, dengan pemahaman tafsir tertentu yang kemudian menyalahkan perempuan dari ketidak mampuannya dalam melayani suami dan masalah masalah keturunanan.

Isue ketimpangan gender masih baru, terkadang resistensi muncul karena menurut mereka hal ini adalah warisan barat yang mencoba melunturkan budaya ketimuran yang telah diagungkan selama ini. Sejumlah informasi HIV/AIDS dengan kemajuan tehnologinya masih menjadi misteri buat sebagian peserta. Kata "tidak bisa di sembuhkan" masih kuat menjadi pemahaman kebanyak peserta yang hadir. Fungsi atau bahkan posisi KPA juga masih menjadi masalah, saat terbukti dari pengakuan peserta sebagian besar tidak mengenal KPA ( komisi penanggulangan AIDS ). Bahkan seorang pejabat bertanya," KPA...Komisi penanggulangan AIR? Indikator profil KPA yang belum membumi di Kabupaten Bandung.

Sosialisasi menjadi program unggulan yang di kedepankan oleh sejumlah instansi. LSM yang diharapkan bersuara kritis, juga belum nampak sebagai lembaga independen yang mengawal kerja negara.

Diskusi berjalan dengan santai, walau begitu tampak keseriusan para peserta mengerjakan tugas tugas yang di berikan fasilitator. Bersama dengan kelompok masing masing, presentasi peserta sungguh luar biasa. Semangat untuk menyadari perlunya perubahan tergurat dalam penyampaian pendapat mereka.


Angka dan data yang baru mereka pahami di pelatihan tersebut merubah cara pandang yang mereka akui selama ini sempit. Resiko dan dampak hingga potensi epidemi yang bisa semakin luas mengancam kabupaten menjadi persoalan yang serius untuk di tanggapi.

Komitmen mereka untuk saling berkoordinasi dengan Lembaga setempat yaitu KPA mulai tampak menggeliat dengan adanya dorongan dari pelatihan merespon tantangan epidemi
HIV?AIDS dalam konteks HAM yang berperspektif gender. Tinggal bagaimana KPA dan jajarannya menyambut positif geliatan ini, sebagai langkah awal membangun sinergitas gerakan bersama lintas sektor dengan memberdayakan semua stake holder setempat.

Mudah mudahan Kabupaten Bandung segera memulai langkah yang lebih efektif dalam merespons tantangan epidemi HIV dengan menggunakan
kacamata gender dan HAM.

Orientasi Seks Terinjak Bisu

Dua hari yang lalu, sepasang remaja cowok mendatangi klinik. Usia 19 tahun dan 20 tahun. Mereka adalah pasangan gay, yang berkeinginan melakukan test HIV. Dorongan tersebut muncul setelah mendengar informasi dari teman komunitas yang pernah melakukan test di PKBI. Lebih dari satu setengah jam, konseling diberikan untuk membongkar stigma dalam diri pasangan tersebut. Bahkan salah satu dari mereka, pernah dua kali melakukan test di sebuah layanan VCT selain PKBI. Menurut penuturannya, layanannya sangat berbeda, baik dari segi layanan maupun konseling yang dilakukan.

Selama proses konseling pasangan ini berdiskusi banyak hal, salah satunya adalah IMS (infeksi menular seksual ). Saat konseling personal, salah satunya mengeluhkan, bahwa penisnya mengeluarkan cairan, berwarna kekuningan. Jumlahnya tidak terlalu banyak, hanya terkadang membuat bercak kuning di celana dalam. Kadang kencing terasa panas, dan hal ini membuatnya tidak nyaman.

Dari penuturannya, anak ini mengatakan, bahwa dulu pernah terjadi hal yang sama pada dirinya. Saat itu remaja ini sempat menyampaikan apa yang terjadi pada mamanya. Kata mamanya," kamu kecapekan, dulu papamu juga pernah seperti ini saat kecapekan, trus dapat obat cefadroxil 500 mg dan sembuh ." dan obatpun diberikan mamanya.

Remaja yang satunya, juga mengeluhkan sesuatu yang terjadi didaerah duburnya. Disekitar lubang dubur ada banyak benjolan dan terasa sakit bahkan sering terasa panas. Keadaan itu sangatlah tidak nyaman. Sudah lebih dari satu bulan keluhan tersebut muncul. Akan tetapi karena malu dan tidak tahu pada siapa, orang yang bisa dipercaya untuk mendengarkan hal yang sangat peribadi tersebut.

Di dalam konseling , keduanya mengaku bahwa hubungan seks yang dilakukan selama ini jarang sekali menggunakan kondom. Bahkan informasi tentang IMS secara detail, baru mendengar sekali ini.
Setelah penjelasan panjang , dua remaja ini akhirnya, dibuatkan surat rujukan untuk mendapatkan tindak lanjut, terkait keluhan IMS nya.

Hal menarik yang bisa menjadi pembelajaran.
Sebuah indikasi kuat bahwa membicarakan hal hal terkait seksualitas , masih dipandang tabu didalam masyarakat ini. Apalagi saat orientasi seks itu berbeda. Telah terbit Pedoman panduan gangguan kejiwaan ( panduan bagi para psikolog ) yang menyebutkan tentang keberagaman orientasi seks , dan menyebutkan bahwa hal tersebut bukanlah penyakit ataupun penyimpangan . Akan tetapi homoseks masih saja terstigma sebagai perlilaku yang menyimpang dalam cara pandang dan tatanan sosial masyarakat kita. Hal inilah yang kemudian menjauhkan komunitas ini sulit untuk mendapatkan informasi, dan cenderung tertutup.

Apa yang disampaikan di atas tentang layanan konseling, mencerminkan bahwa layanan konseling kita belumlah optimal sesuai dengan pedoman konseling VCT yang berlaku. Lemahnya monitoring dalam menjaga quality kontrol setiap layanan VCT yang ada. Cara pandang pemerintah yang selalu menganggap bahwa petugas yang telah mendapatkan pelatihan sebagi konselor pastilah telah mumpuni, dan ternyata hal tersebut tidaklah tepat.

Catatan menarik adalah menyoroti komentar sang ibu, dari si remaja di atas. Fakta telah menunjukkan bahwa IMS tidak dipahami sepenuhnya oleh kebanyakan perempuan. Kondisi ini menunjukan betapa rentannya perempuan oleh akibat ketidak tahuan tersebut.
Bagaimana gejala kencing nanah/GO ( gonorhorea ) dipahami sebagai kelelahan tubuh semata? siapa yang memberikan penjelasan ini? suami!!

Tekanan sosial yang luar biasa dari tatanan masyarakat, seperti dipaparkan di atas terkait orientasi homoseks. Akan memberikan dampak ketertutupan bagi komunitas ini. Komunitas ini akan di paksa oleh sistem sosialnya untuk menikah dengan lawan jenisnya.Dan pada akhirnya permasalahan identitas tersebut akan memberikan dampak lagi bagi perempuan, sekaligus ketidak nyamanan komunitas ini sendiri.
Kebisuan ini ternyata berdampak lebih besar.

Tata nilai dan norma di ciptakan untuk menghargai keberagaman manusia itu sendiri. Keberagaman orientasi seks merupakan fenomena sosial dari kehidupan yang telah berlangsung selama ini. Jangan biarkan kebisuan tercipta karena hanyalah menambah beban, akan tetapi keterbukaan cara pandang bisa menyatukan, mendamaikan, bahkan menyelamatkan. Lihatlah betapa indah keberagaman.....

Rabu, Februari 25, 2009

Buitenzorg yang menenangkan

Melepas kepenatan sejenak, dengan kembali mengingat perjalanan di Bogor minggu lalu.
Bogor, terkenal sebagai kota hujan orografi, karena letaknya tepat diantara kaki gunung salak dan gunung Gede. Kota ini tepat berada di tengah kabupaten Bogor, propinsi Jawa barat . Jaraknya kurang lebih satu jam jika ditempuh dengan KRL dari stasiun Gambir , kira kira arah selatan kota Jakarta. Dalam sejarahnya kota ini pernah dikenal dengan nama Buitenzorg pada jaman kolonial Belanda dulu, yang berarti "tanpa kecemasan".

Konon, kata Bogor berarti "enau". Kota ini diperingati hari jadinya setiap tanggal 3 Juni, karena pada tanggal tersebut tepatnya di tahun 1482 merupakan penobatan prabu Siliwangi sebagai raja dari kerajaan Pajajaran.

Sebenarnya kota ini menyajikan banyak tempat tujuan wisata, akan tetapi karena jadwal kami terlampau sempit maka hanya beberapa tempat saja yang sempat di kunjungi.
Salah satu tempat tersebut adalah Taman kencana.



Perjalanan kurang lebih lima belas menit dari hotel Papa HO, dengan menggunakan angkot. Kebetulan bapak sopir angkot berbaik hati mengantarkan kami ke taman Kencana, sore itu.Tidak ada penumpang lagi selain kami. Cuaca saat itu tidak hujan, dan entah mengapa sudah dua hari kami disana hanya awan mendung saja yang kadang terjadi.

Setiba di taman Kencana, kami melihat sebuah tempat nongkrong anak muda. Sebuah kafe kecil tetapi ramai sekali di kunjungi muda mudi disana. Terdengar dari luar alunan lagu lagu Kla project era 80 an, yang di bawakan dengan musik akustic. Saat kami memasuki pintu utama, seorang remaja muda menyambut dengan ramah, mengantar hingga tempat duduk yang menjadi pilihan.

Wow suasananya menyenangkan sekali, lagu lagu Kla project dari album Kla akustik yang aku hafal, semua disuguhkan dengan memukauku. Kadang aku terbawa untuk menyanyikan lagu yang tengah disuguhkan itu. sekelompok pemuda dengan fasih membuat iringan musik yang tak asing lagi di telingaku. Kla Project.

Benar benar tempat yang bikin relaks. lampu lampu temaram, coklat indah dan tak menyilaukan. Turut berjajar pasangan dan kelompok muda menikmati makanan dan minuman. Pesanan mudah dengan cepat dihidangkan. Sering kali senyuman ramah turut menyertai layanan pramusaji hingga pembeli merasa terlegakan.

Pantaslah tempat ini, ramai banyak kunjungan. Selain tempat yang menyenangkan, musik akustik yang enak di dengar , pelayan yang ramah dan murah senyuman, ternyata menu juga tak mau ketinggalan. Menu selain murah ternyata juga pas di lidah. Pokoknya tidak rugi makan di kafe ini.

Berjam jam kami disana, tidak terasa membosankan. Bergelas gelas minum telah dihabiskan, bermacam makanan telah ludes sebagai hidangan. Jeprat jepret fotopun tidak mau ketinggalan. wuiess asyik kali coy, gaul abis....

Akhirnya taksi yang kami pesanpun sudah datang, Eh iya ternyata mencari taksi di Bogor, susahnya minta ampun, tidak seperti di Jogja. sekalipun demikian, jika suatu saat aku sampai di Bogor lagi, pasti takkan terlewatkan tempat tempat asyik seperti ini. Sebagai pelepas lelah, dari kepenatan membongkar stigma HIV yang kuat dari para pengambil kebijakan di kota tersebut, Taman kencana telah menjawab kebutuhanku untuk relaks dan kemudian menyiapkan diri pada babak kerja selanjutnya.

Bogor, kota asyik dan tidak membuatku kecewa.......

Aborsi dalam perspektif gender

(bag 2...... )
Beberapa kasus terkait dengan keinginan ataupun tindakan aborsi tercatat dilayanan klinik VCT ( voluntary conselling and testing ).Sebagian dari mereka adalah pasangan suami istri. Kebanyakan dari catatan konseling mengatakan bahwa kehamilan yang tidak diinginkan tersebut terjadi karena gagal kontrasepsi. sebagai contoh

Di bulan Febuari,2009 Seorang perempuan usia duapuluhan tahun menyatakan dirinya untuk tidak meneruskan kehamilannya. Usia kehamilannya masih kurang dari 10 minggu.Pekerjaan perempuan tersebut, sebagai penjaga toko di Jogja. Suami perempuan ini adalah odha ( orang dengan status HIV positif ).Bahkan terapi yang digunakan oleh suami adalah ART ( antiretroviral teraphy ) lini kedua, yang masih jarang kasusnya di Indonesia.
Pekerjaan suami, buruh serabutan dan tidak tentu. Kadang kerja terkadang menganggur dirumah. Pasangan ini mempunyai dua orang anak yang masih duduk dibangku SD. Tinggal di sebuah rumah kontrakkan yang kecil dan jauh dari layak. Selama ini mereka mengaku bahwa Hubungan sex yang dilakukan selalu menggunakan kondom. Akan tetapi kegagalan alat kontrasepsi ini terjadi tanpa mereka ketahui, sehingga terjadi kehamilan yang tidak diinginkan tersebut.

Tahun 2007, seorang perempuan TKI yang berkerja di Malaysia pulang ke Indonesia. Hasil general chek up dari negeri jiran tersebut menunjukkan hasil HIV positif. Dengan di antar oleh suaminya, perempuan ini berkeinginan untuk mengakhiri kehamilannya.Usia kehamilan masih dibawah sepuluh minggu. Hasil konseling mencatat bahwa status HIV positif tersebut terjadi akibat kekerasan di negeri Jiran tersebut.Pasangan ini telah dikaruniai satu orang putri yang masih kecil.

Tahun 2008, sepasang remaja berkeinginan untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan. Kedua remaja ini berstatus HIV positif. Dua duanya telah mendapatkan teraphy ARV, akan tetapi keduannya pernah pula mengalami drop out teraphy. Status mereka belum menikah. Hal tersebut dilatar belakangi karena ketidak setujuan orang tua dari kedua belah pihak. Alasan ketakutan terjadi penularan pada keturunan mereka nantinya, melatar belakangi kekhawatiran orang tua mereka, yang mengetahui status HIV pasangan remaja ini. Saat itu usia kehamilan perempuan telah lebih dari 10 minggu. Kekawatiran akan penularan pada bayi mereka nantinya, melandasi keputusan mereka untuk tidak meneruskan kehamilan yang tidak diinginkan tersebut. Kedua remaja ini belum mempunyai pekerjaan dan nafkah sendiri. Menurut penuturan perempuan, calon suaminya adalah pengguna putaw suntik dan masih aktif. Rehabilitasi masih dijalani oleh calon suaminya saat itu. Kekerasan fisik sering kali dilakukan pacarnya tersebut, ungkap perempuan ini.

Semua pasangan di atas mengatakan bahwa mereka telah mendatangi beberapa layanan kesehatan yang ada. Akan tetapi tidak ada satupun dari layanan kesehatan yang disebutkan mau berpihak pada mereka. Tawaran program PMTCT ( prevention mother to child transmission ) selalu saja diberikan sebagai satu satunya pilihan atas kasus mereka. Sedangkan dari segi biaya program ini tidaklah murah,lebih dari 7,5 juta harus disiapkan untuk keperluan program tersebut.

Pandangan petugas kesehatan yang mereka temui cenderung menyalahkan perempuan yang mengalami kehamilan ini. Tak jarang ungkapan bernada menghakimi terlontar dari para petugas kesehatan. Akibatnya pasangan ini merasa tidak ada layanan yang berpihak dan frendly untuk menyelesaikan kasus yang sedang mereka hadapi. Berbagai Obat paten maupun tradisional telah mereka coba untuk menghentikan kehamilannya, akan tetapi selalu mengalami kegagalan. Tubuh yang telah rentan karena infeksi HIV tersebut masih terus dibebani dengan masuknya zat asing kedalamnya. Perempuan inipun rela melakukan pengorbanan yang luar biasa, demi kasusnya bisa selesai.

Pasangan remaja di atas akhirnya, memutuskan untuk meneruskan kehamilannya dan kemudian menikah. dari program PMTCT yang dijalaninya Pada akhirnya melahirkan seorang bayi mungil dengan jenis kelamin laki laki. Akan tetapi usia sang bayi tidaklah bertahan lama, kurang dari dua hari sejak dia dilahirkan, bayi itupun meninggal. Bayi tersebut tidak kuat menerima ARV sebagai profilaksis teraphy, yaitu salah satu program dalam PMTCT. Biaya yang banyak harus mereka tanggung. Tetapi depresi yang muncul diakibatkan oleh meninggalnya buah hati mereka. Hal tersebut menyebabkan si suami kembali menggunakan putaw suntik, hingga OD ( over dosis ).

Lihatlah bagaimana problem informasi kuat sekali terbaca dalam kasus kasus di atas. Bahwa layanan konseling yang diberikan dibeberapa layanan kesehatan belumlah sampai pada pemahaman bagi kliennya.Adanya perilaku petugas yang memaksakan tata nilainya hingga membuat ketidak nyamanan pasiennya.Hal tersebut mendorong layanan pengobatan alternatif menjadi pilihan walaupun sangat beresiko pada perempuan.

Ada problem ketimpangan gender yang membawa perempuan rentan dalam tindak kekerasan. Ketidak berdayaan di sektor ekonomi yang diakibatkannya telah memposisikan perempuan jatuh dalam kemiskinan yang sesungguhnya. Perlecehan dan bahkan HIV/AIDS yang terjadi tidaklah mendapat perlindungan dan pembelaan negara dengan alasan angka/jumlah yang terlampau kecil. Atau lebih parahnya hal tersebut ditimpakan sebagai kesalahan individu " perempuan "

Kemiskinan negara telah menjual para TKI menjadi komoditi eksport yang menghasilkan devisa yang luar biasa, akan tetapi di sisi lain TKI tersebut tidaklah menerima perlindungan dari negaranya sendiri. Tidak ada pembelaan dari negara hingga para perempuan ini tidak mampu untuk menuntut haknya dari tindak kekerasan yang berdampak pada dirinya.

Disisi lain ada problem kebijakan yang belum menyentuh hingga level ini. Kebijakan yang di buat, hanya berpihak pada kelompok sosial masyarakat yang " normatif ". Perlu adanya peninjauan kembali atas produk kebijakan tersebut, karena minimnya Yankes, petugas kesehatan yang kurang friendly dan problem lainnya, dilandasi oleh produk hukum yang belum mempunyai perspektif gender dan HAM.

Masih banyak yang bisa dijadikan pembelajaran dari kasus di atas, mulai dari ekonomi, sosial , budaya dan bahkan sistem pendidikan kita. Masyarakat belum banyak yang menyadari bahwa begitu luasnya permasalahan HIV/AIDS terkait HAM dan isu gender. Pandangan terhadap perilaku individu begitu mengakar dan berujung pada penyelesaian masalah epidemi yang tak kunjung berakhir.

Problem diatas menunjukkan bahwa HIV/AIDS tidak cukup diselesaikan dengan kaca mata medis semata. Banyak aspek sosial yang harus diselesaikan dari multi dimensi. Aspek sosial ini menuntut penyelesaian problem di atas dengan menggunakan perspektif HAM dan gender.


Selasa, Februari 24, 2009

Aborsi dalam perspektif gender

( bagian pertama .. )
Seorang mahasiswi MMTC datang ke klinik untuk melakukan wawancara tentang
post syndrom abortion. Dengan mengangkat data bahwa perilaku aborsi tidak aman
sangat banyak terjadi pada remaja putri.
Aborsi dalam pandangan masyarakat umum masih menjadi hal dilematis.
Disatu sisi norma dan tata nilai mengatakan tabu dan di haramkan, akan tetapi fenomena yang ada meningkat

Jika merujuk pada data yang ada, ternyata aborsi paling banyak dilakukan oleh pasangan suami istri yang mengalami kegagalan Kontrasepsi. Sementara wacana yang muncul sering kali menunjuk pada fenomena aborsi pada perempuan remaja saja. Dan ironisnya, justru fenomena inilah yang paling sering ditonjolkan dalam media kita.

Mengapa demikian?
Karena dari kaca mata media hal ini justru menarik dan mempunyai daya jual
yang tinggi lebih tepatnya" sensasional". Akibatnya secara tidak disadari bahwa pemberitaan tersebut telah memberikan stigma serta membuat ketimpangan lain dan menambah beban yang lebih berat pada perempuan.

Bermula dari pertanyaan mengapa aborsi dilakukan?
Kebanyakan masyarakat menjawab,", karena sex bebas, karena perempuan yang gatel dan binal, karena pemahaman KB yang kurang, karena pengaruh film porno,Karena gagal KB, karena eh karena kata Bang haji Roma irama."

Dari paparan diatas menunjukkan bahwa aborsi masih dipandang sebagai kesalahan perilaku individu khususnya perempuan. Hal itu mengakibatkan kecenderungan menyalahkan diri perempuan. Kekerasan yang menyertai tindakan aborsi tidaklah diangkat proposional dari akibat pengaruh budaya patriarki. Sehingga laki laki seakan lepas dari tanggung jawab tersebut.
Karena cara pandang yang cenderung menyalahkan individu inilah yang menyebabkan permasalahan terkait aborsi ini seakan tidak pernah selesai.

Seringkali kita melalaikan bahwa problem di atas terkait erat dengan sistem yang berlaku dalam negara ini. Minimnya layanan informasi terkait dengan kontrasepsi, dari penyedia yankes yang mampu memberikan konseling dengan optimal. ( rata rata pemberian informasi dilakukan dengan waktu yang sangat terbatas dengan alasan kesibukan dan kepadatan pasien ).

Masih sedikit sekali pilihan kontrasepsi yang diberikan pada laki laki karena konstruksi patriarki, sehingga berimbas pada perempuan sebagai reseptor KB dibudaya masyarakat.
Hal ini berujung pada penyalahan pada diri perempuan ketika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.
Pedidikan sex dan kesehatan reproduksi yang hampir tidak dijumpai dalam sistem pendidikan kita, telah mendorong remaja untuk mencari tahu sendiri info tersebut dan cinderung terjebak pada sumber atau informasi yang salah. Akibatnya mitos mitos tentang sex subur berkembang di negeri ini.

Kemiskinan yang tinggi telah memposisikan perempuan dalam ketidak berdayaan, sehingga pendidikan yang tinggi cenderung dimiliki oleh laki laki. Ketimpangan ini juga dipacu budaya patriarki yang kuat dalam sistem sosial kita.

Disisi kebijakan, minim produk hukum yang pro terhadap tindakan aborsi. UU kesehatan yang ada terlalu minim memberikan ruangnya untuk bicara tentang aborsi. Hal ini melandasi minimnya layanan kesehatan untuk tindakan aborsi yang pro perempuan sehingga secara tidak sadar telah menyuburkan praktek praktek aborsi yang tidak aman.

Budaya yang terbangun selama ini, menempatkan kesalahan aborsi pada perempuan, terkait status pernikahan ataupun belum berstatus. Bahkan dengan ukuran ukuran normatif, masyarakat berkuasa melakukan penghakiman atas dasar tatanilai dirinya sendiri. Konstruksi ini telah mempengaruhi keputusan para petugas kesehatan dalam memposisikan kasus kasus kehamilan tidak diinginkan yang terjadi pada remaja putri. Alasan agama dijadikan dasar kuat atas budaya yang berlaku, dimana sebenarnya telah terjadi penafsiran yang kembali ditafsirkan lagi hingga tafsir yang kesekian kali tanpa tersadari memberikan pemahaman yang kurang pas.

Kesimpulannya, dilema aborsi bisa terjawab jika, cara pandang yang dipakai menggunakan wawasan yang multi dimensional. Bahwa ternyata persoalan aborsi bukanlah problem individu semata, akan tetapi problem sistem yang telah menciptakan dan mendorong
terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan sehingga berujung pada tindakan aborsi.
Membongkar kembali cara pandang terhadap negara dengan seluruh sistem pendukungnya tidak saja akan meminimalkan angka kehamilan yang tidak diinginkan, akan tetapi akan meniadakan kasus aborsi itu sendiri.

Peran peran ini akan terbangun dengan baik, salah satunya dengan keterlibatan media yang mempunyai prespektif HAM dan gender, dengan mengedepankan akurasi dan menggunakan prespektif tadi .
Sehingga berita berita sensasional tidak lagi terbangun menjadi komodite yang justru telah memberikan dampak buruk berupa stigmatisasi pada problem ini.


Minggu, Februari 22, 2009

Pejabat Bogor dan HIV/AIDS

Kabupaten Bogor, adalah kota kecil yang dekat dengan ibukota Jakarta. Jaraknya hanya 45 menit dari Jakarta dengan menggunakan kereta KRL. Kota yang berada di kawasan pegunungan ini terasa begitu padat penduduknya. Semrawut lalu lintasnya dengan kemacetan yang tampaknya sudah menjadi pemandangan keseharian. Tampak juga jalanan yang berlobang cukup dalam disana sini, rawan kecelakaan. Di Hotel Papa Ho seberang Jambu Mall inilah cerita ini di mulai.

Kurang lebih lima belasa menit perjalanan dari hotel menuju dinas kesehatan kabupaten Bogor. Tempat diselenggarakannya pelatihan Merespon Tantangan epidemi HIV/AIDS dalam konteks HAM yang Berprespektif Gender. Selama dua hari penuh pelatihan tersebut dijadwalkan.Hari pertama untuk para pengambil kebijakan dan yang kedua bagi praktisi.

Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama CHPSC ( Centre Health policy and sosial change Yogyakarta ) dengan dinas kesehatan kabupaten Bogor. ada dua puluh pengambil kebijakan yang diundang dalam acara tersebut. sebagian diantaranya adalah pimpinan kedinasan dari SKPD setempat.

Ruang briefing dinas kesehatan di pilih sebagai ruang pelatihan ini. Tempatnya memang tidak terlalu luas, namanya juga ruang rapat. Bagi fasilitator ini merupakan salah satu kesulitan yang menjadi tantangan tersendiri. Peserta yang hadir adalah orang orang dinas yang cukup sibuk di bidang kerjanya. Waktu penyelenggaraan yang hanya satu hari dengan kepadatan materi yang harus diberikan memberikan beban dalam proses pelatihan. Hal ini mendapatkan banyak catatan dalam lembar evaluasi yang diberikan oleh peserta di akhir sesi acara.


HIV/AIDS oleh para peserta masih dipandang sebagai persoalan individu dan kelompok tertentu. Perempuan pekerja seks masih saja diberikan garis bawah dan cetakan tebal sebagai aktor kunci penyebaran epidemi ini. Pandangan perilaku menyimpang dari kelompok homoseks masih menjadi keyakinan bahwa komunitas ini haruslah disembuhkan.

Tuduhan kebinalan perempuan yang mendorong pilihan menjadi pekerja seks untuk kepuasan dan melampiaskan birahi semata. Sementara para pelanggan , laki laki hanya dipandang sebagai korban yang berimbas pada keluarga terutama istri dan anak. Ada juga pandangan bahwa problem HIV/AIDS bersumber pada odha ( orang dengan HIV/AIDS ) sehingga diusulkan semua pekerja seks dan orang orang yang berzina di test HIV dan kemudian yang positif di tembak mati.

Sementara dari sistem kebijakan, peserta masih memandang bahwa regulasi tentang prostitusi masihlah lemah. Pimpinan Lapas mengemukakan bahwa Lapas yang dipimpinnya telah penuh dengan Napi.Lapas yang berkapasitas 300 orang ini telah padat dengan 500 orang yang menghuninya hanya dalam kurun waktu 3 bulan. Ini menandakan banyaknya orang bermasalah moral. Akan tetapi Lapas tersebut juga belum mempunyai kebijakan yang yang mendukung program penanggulangan HIV. Hal tersebut dikarenakan belum adanya lampu hijau ditingkat pusat berkenaaan dengan regulasi. KPA ( komisi penanggulangan AIDS )masih dipahami sebagai LSM yang menanggulangi AIDS, ironis sekali.


Pelaksana harian KPA yang hadir membuka pelatihan tersebut. Anehnya Pejabat ini baru mengetahui bahwa dirinya adalah pelaksana harian KPA sesaat sebelum acara tersebut dimulai. Mungkin bisa dibayangkan bagaimana ribet ruwetnya koordinasi KPA yang hanya mempunyai dua orang staff baru, dimana biayanya operasionalnya merupakan bantuan KPAN. Problem senada juga diakui oleh dr.Kusnadi, salah satu pejabat di dinas kesehatan kabupaten Bogor.

Huih, banyak sekali yang harus dikerjakan. Sebagai fasilitator hal tersebut adalah tantangan yang menarik untuk di bongkar habis. Mulai dengan data kasus HIV hingga hitung hitungan estimasi yang menunjukkan resiko pada layanan kesehatan dan bank darah. Angka yang mereka hitung sendiri menunjukkan kerentanan pada populasi umum termasuk diri peserta dan keluarga mereka.


Tata nilai dan norma peserta yang selalu menjadi cara pandang untuk dipaksakan untuk berlaku pada kelompok tertentu, di bongkar dengan konsekuensi dampak, dari pengalaman yang selalu menuai kegagalan bila penyelesaian masalah hanya dititik beratkan pada keyakinan tentang agama semata. Budaya yang mengakar kuat dengan tafsir tafsir agama secara perlahan di kupas untuk menunjukkan adanya konstruksi sosial dalam masyarakat.

Dan pemahaman tentang konstruksi inilah yang dijadikan dasar untuk memulai perubahan tersebut. Cara pandang bahwa epidemi ini bukan sebatas medis belaka telah mempengaruhi para peserta untuk berpikir lebih luas dalam kerangka sistem yang merujuk pada problem HAM dan relasi gender.

Informasi berkaitan dengan kemajuan dunia klinis HIV/AIDS menjadi masalah yang serius. Beberapa permainan segar seperti bisik bisik tetangga secara halus telah memberikan pemahaman pada para peserta, bahwa pemberian informasi selalu membutuhkan waktu dan strategi dalam prosesnya. Sehingga problem penyebaran informasi tersebut tidaklah semata mata cukup dengan mengatakan " program sosialisasi ".

Problem koordinasi karena lemahnya posisi KPA kabupaten , menuntut intervensi serius dari ketua KPA yaitu wakil Bupati. Ketidak tahuan para pimpinan kedinasan yang sering disebut dengan SKPD adalah problem koordinasi struktural kabupaten ini. Dorongan ini memunculkan asumsi lemahnya KPAN dalam monev ( monitoring dan evaluasi) pada tingkat kabupaten kota, dalam programnya.

RTL ( rencana tindak lanjut ) yang disusun oleh peserta belumlah merujuk pada problem sistem seperti yang diungkapkan diatas. Masih terlalu tehnis jika dipandang dari kapasitas pengambil kebijakan. Akan tetapi inilah proses. Sebuah awal mula geliatan dari kepedulian dalam penanggulangan epidemi HIV. Semoga apa yang telah dimulai terus berkelanjutan hingga terwujud gerakan stop epidemi AIDS yang lebih ideal dan mempunyai prespektif gender dan HAM.

Sukses untuk Kabupaten Bogor.

Senin, Februari 09, 2009

Tragedi ataukah Bencana ?

Tayangan banjir di Jawa tengah dan beberapa propinsi lain yang baru baru ini diberitakan oleh kalangan media, mengingatkan pada tiga hari perjalananku di Semarang kemarin. Banjir sempat menggenangi beberapa ruas jalan, ini akibat hujan yang terus menerus mengguyur kota tersebut. Akibatnya lalu lintas macet, beberapa kendaraan juga ikut terjebak karena mesin tak mau hidup. Aktifitas kota menjadi terganggu.


Banjir memang menuai masalah. Tidak sedikit masalah kesehatan yang ditimbulkannya. Pengungsian juga menjadi sorotan.Seorang teman menulis sebuah artikel berjudul "Banjir". Ulasan yang mengangkat banjir dengan segala problematikanya. Sebuah kritikan disampaikan berkaitan dengan cara pandang banjir. Manakala banjir dipandang sebagai sebuah bencana maka peristiwa ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diprediksi dan diantisipasi.Semua mengalir begitu saja diluar kemampuan manusia untuk mencegahnya. Sementara penguasa akan berlenggang kangkung karena semua tidak bisa di duga atau diantisipasi.Bahkan selain itu, membawa nama Tuhan sebagai penguasa alam, untuk membungkam bantahan.



Nalar tersebut membuat penguasa merasa bebas dari tanggung jawab, yang dihubungkan oleh peristiwa sebab dan akibat. Kemudian tiba tiba datang membawa bantuan dengan topeng dewa yang disandang. Berharap banyak hati bersimpati dan menunggu kata bahwa penguasa peduli.
Lain halnya jika banjir dipandang sebagai tragedi kemanusiaan. Banjir sesungguhnya telah diundang oleh kerusakan alam, hutan gundul, resapan air yang sempit dan pemanasan global. Semua itu merupakan kelalaian penguasa untuk mencegahnya. Kelalaian yang harus dipertanggung jawabkan oleh penguasa negri ini untuk menjamin hak hak rakyatnya untuk aman terbebas dari tragedi kemanusiaan, yang sebenarnya bisa dicegah dan diantisipasi.



Jika saja problem HIV/AIDS juga di pandang sebagai tragedi kemanusiaan dan bukan bencana atau bahkan kutukan, maka penghakiman atas perilaku perilaku individu bisa dihindarkan. Sistem akan dipandang sebagai akar permasalahan epidemi.Saat undang undang hanya dipakai sebagai lambang. Jaminan kesejahteraan yang tertuang belum bisa dinikmati, lebih dipandang sebagai kiasan pemanis undang undang. Mandat rakyat masih dijadikan komoditi politis untuk menggaet suara terbanyak dalam pemilu yang rutin lima tahun sekali. Kebijakan yang yang masih diukur dengan tinggi rendahnya ekonomi makro membuat segolongan masyarakat tersisihkan dan terpuruk dalam kemlaratan. Hal inilah yang menggiring mereka harus bekerja dalam situasi yang beresiko, yang akhirnya mereka dipantaskan untuk mendapat tudingan amoral. Sementara konstruksi timpang gender seakan dilanggengkan bahkan cinderung diabaikan. Perempuan yang terbungkam memposisikan konstruksi itu semakin kuat mencengkeram. Budaya budaya yang terbalut moral semakin menjauhkan masyarakat terpinggir, sebagai bangsa dari negaranya sendiri.
Akankah identitas yang hilang itu akan kembali? Sampai kapan hak hak yang terlanggar terpulihkan lagi? Ataukah semua itu akan dibiarkan terjadi hingga epidemi HIV ini semakin luas menginvasi?