Subscribe

Selasa, Februari 24, 2009

Aborsi dalam perspektif gender

( bagian pertama .. )
Seorang mahasiswi MMTC datang ke klinik untuk melakukan wawancara tentang
post syndrom abortion. Dengan mengangkat data bahwa perilaku aborsi tidak aman
sangat banyak terjadi pada remaja putri.
Aborsi dalam pandangan masyarakat umum masih menjadi hal dilematis.
Disatu sisi norma dan tata nilai mengatakan tabu dan di haramkan, akan tetapi fenomena yang ada meningkat

Jika merujuk pada data yang ada, ternyata aborsi paling banyak dilakukan oleh pasangan suami istri yang mengalami kegagalan Kontrasepsi. Sementara wacana yang muncul sering kali menunjuk pada fenomena aborsi pada perempuan remaja saja. Dan ironisnya, justru fenomena inilah yang paling sering ditonjolkan dalam media kita.

Mengapa demikian?
Karena dari kaca mata media hal ini justru menarik dan mempunyai daya jual
yang tinggi lebih tepatnya" sensasional". Akibatnya secara tidak disadari bahwa pemberitaan tersebut telah memberikan stigma serta membuat ketimpangan lain dan menambah beban yang lebih berat pada perempuan.

Bermula dari pertanyaan mengapa aborsi dilakukan?
Kebanyakan masyarakat menjawab,", karena sex bebas, karena perempuan yang gatel dan binal, karena pemahaman KB yang kurang, karena pengaruh film porno,Karena gagal KB, karena eh karena kata Bang haji Roma irama."

Dari paparan diatas menunjukkan bahwa aborsi masih dipandang sebagai kesalahan perilaku individu khususnya perempuan. Hal itu mengakibatkan kecenderungan menyalahkan diri perempuan. Kekerasan yang menyertai tindakan aborsi tidaklah diangkat proposional dari akibat pengaruh budaya patriarki. Sehingga laki laki seakan lepas dari tanggung jawab tersebut.
Karena cara pandang yang cenderung menyalahkan individu inilah yang menyebabkan permasalahan terkait aborsi ini seakan tidak pernah selesai.

Seringkali kita melalaikan bahwa problem di atas terkait erat dengan sistem yang berlaku dalam negara ini. Minimnya layanan informasi terkait dengan kontrasepsi, dari penyedia yankes yang mampu memberikan konseling dengan optimal. ( rata rata pemberian informasi dilakukan dengan waktu yang sangat terbatas dengan alasan kesibukan dan kepadatan pasien ).

Masih sedikit sekali pilihan kontrasepsi yang diberikan pada laki laki karena konstruksi patriarki, sehingga berimbas pada perempuan sebagai reseptor KB dibudaya masyarakat.
Hal ini berujung pada penyalahan pada diri perempuan ketika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.
Pedidikan sex dan kesehatan reproduksi yang hampir tidak dijumpai dalam sistem pendidikan kita, telah mendorong remaja untuk mencari tahu sendiri info tersebut dan cinderung terjebak pada sumber atau informasi yang salah. Akibatnya mitos mitos tentang sex subur berkembang di negeri ini.

Kemiskinan yang tinggi telah memposisikan perempuan dalam ketidak berdayaan, sehingga pendidikan yang tinggi cenderung dimiliki oleh laki laki. Ketimpangan ini juga dipacu budaya patriarki yang kuat dalam sistem sosial kita.

Disisi kebijakan, minim produk hukum yang pro terhadap tindakan aborsi. UU kesehatan yang ada terlalu minim memberikan ruangnya untuk bicara tentang aborsi. Hal ini melandasi minimnya layanan kesehatan untuk tindakan aborsi yang pro perempuan sehingga secara tidak sadar telah menyuburkan praktek praktek aborsi yang tidak aman.

Budaya yang terbangun selama ini, menempatkan kesalahan aborsi pada perempuan, terkait status pernikahan ataupun belum berstatus. Bahkan dengan ukuran ukuran normatif, masyarakat berkuasa melakukan penghakiman atas dasar tatanilai dirinya sendiri. Konstruksi ini telah mempengaruhi keputusan para petugas kesehatan dalam memposisikan kasus kasus kehamilan tidak diinginkan yang terjadi pada remaja putri. Alasan agama dijadikan dasar kuat atas budaya yang berlaku, dimana sebenarnya telah terjadi penafsiran yang kembali ditafsirkan lagi hingga tafsir yang kesekian kali tanpa tersadari memberikan pemahaman yang kurang pas.

Kesimpulannya, dilema aborsi bisa terjawab jika, cara pandang yang dipakai menggunakan wawasan yang multi dimensional. Bahwa ternyata persoalan aborsi bukanlah problem individu semata, akan tetapi problem sistem yang telah menciptakan dan mendorong
terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan sehingga berujung pada tindakan aborsi.
Membongkar kembali cara pandang terhadap negara dengan seluruh sistem pendukungnya tidak saja akan meminimalkan angka kehamilan yang tidak diinginkan, akan tetapi akan meniadakan kasus aborsi itu sendiri.

Peran peran ini akan terbangun dengan baik, salah satunya dengan keterlibatan media yang mempunyai prespektif HAM dan gender, dengan mengedepankan akurasi dan menggunakan prespektif tadi .
Sehingga berita berita sensasional tidak lagi terbangun menjadi komodite yang justru telah memberikan dampak buruk berupa stigmatisasi pada problem ini.


Tidak ada komentar: