Subscribe

Jumat, Februari 27, 2009

Jejak kaki di kota Soreang

Selepas dinas malam di RS, ternyata waktu belum berpihak padaku untuk, segera tidur.
Waktu kini jam 11.00 siang, sekelompok anak anak play group begitu ceria bersama orang tua dan guru mereka bertandang ke rumah salah seorang temannya yang sedang merayakan hari ulang tahunnya. Tampak keceriaan itu dengan sejumlah anak yang lari kesana kemari mengejar angsa yang lalu lalang dirumah si teman yang ulang tahun.

Udara yang teduh , ditengah hawa pedesaan membuat diriku kembali menulis.
Teringat minggu lalu saat perjalanan membawaku ke kota soreang, ibu kota kabupaten Bandung, Jawa barat. Jika dibandingkan kota tersebut, kesejukan disini tidaklah seberapa, akan tetapi suana desa yang tenang seakan mengembalikan memoriku akan kota soreang dan sekitarnya.

Kota yang tenang, dengan tata wilayah yang rapi, jauh jika dibandingkan dengan kota Bogor. saat itu aku tinggal di sebuah hotel kecil yang bernama " Antik ". Antik sesuai dengan keadaanya, serba sederhana bahkan lebih tepat jika disebut losmen daripada hotel. Fasilitas yang terbatas, dengan bed dan kamar mandi yang jauh dari kata bagus layaknya sebuah hotel. Walaupun begitu menurut keterangan orang setempat, hotel Antik ini merupakan satu satunya penginapan di kota soreang, yang berdekatan dengan kompleks Pemda.
Saat kami menginap disitu, ada serombongan pemain bola yang kebetulan juga menginap di Hotel, Persib kata orang. Klub bola kebanggaan masyarakat Jawa Barat. Maklumlah hari itu mereka akan bertanding di Stadion yang tidak jauh dari penginapan tersebut.

Pagi pagi kami sudah sampai ke lokasi tempat pelatihan merespons tantangan epidemi HIV/AIDS dalam konteks HAM yang berperspektif gender. Tempat tersebut ada di gedung sekda.. tepatnya, balai Kandaga di lantai III. Sebuah ruang sidang yang luar biasa luas,
biasanya di gunakan untuk meeting besar, mungkin kapasitasnya bisa menampung dua ratus orang, pokoknya sangat lega. Sejumlah panitia dan staff KPA juga sudah hadir dan siap ditempat tersebut.

Acara pertama kali di buka dengan sambutan, baik dari penyelenggara maupun dari KPA. Drs. Edi Santoso selaku sekertaris KPA memberi sambutan dan sekaligus membuka acara.
Trainningpun dimulai. Sama halnya dengan kota bogor, bahwa penyelengggaran di lakukan dalam dua hari. Hari pertama untuk para pengambil kebijakan dan hari kedua oleh para praktisi. Metode yang dipakai juga sama. Disebut pendidikan orang dewasa karena semua sumber materi dan diskusi, berawal dari pengalaman peserta sendiri. Sepertinya hal ini baru buat para peserta, mereka terlalu terbiasa dengan model trainning yang " one way ". Karena hal baru inilah, menurut peserta menjadi menarik.


Catatan demi catatan terungkap disini. Problem HIV AIDS masih dipandang milik pelacur, maupun waria dan IDU. Sebagian peserta masih menganggap bahwa masalah tersebut sangat jauh dari kehidupan mereka. Kata " Baik baik " tetap saja mewarnai proses proses diskusi, menunjukakan stigma yang begitu kuat pada penyakit satu ini. Anggapan negara moslem melandasi pemikiran bahwa penyakit ini lahir dan berkembang karena moralitas bangsa yang kian rusak dan menurun. Sex bebas dengan menitik beratkan perempuan
yang bekerja sebagai pekerja sex atau sering di sebut dengan kata pelacur. Poligami juga didasarkan pada sunah Nabi, dengan pemahaman tafsir tertentu yang kemudian menyalahkan perempuan dari ketidak mampuannya dalam melayani suami dan masalah masalah keturunanan.

Isue ketimpangan gender masih baru, terkadang resistensi muncul karena menurut mereka hal ini adalah warisan barat yang mencoba melunturkan budaya ketimuran yang telah diagungkan selama ini. Sejumlah informasi HIV/AIDS dengan kemajuan tehnologinya masih menjadi misteri buat sebagian peserta. Kata "tidak bisa di sembuhkan" masih kuat menjadi pemahaman kebanyak peserta yang hadir. Fungsi atau bahkan posisi KPA juga masih menjadi masalah, saat terbukti dari pengakuan peserta sebagian besar tidak mengenal KPA ( komisi penanggulangan AIDS ). Bahkan seorang pejabat bertanya," KPA...Komisi penanggulangan AIR? Indikator profil KPA yang belum membumi di Kabupaten Bandung.

Sosialisasi menjadi program unggulan yang di kedepankan oleh sejumlah instansi. LSM yang diharapkan bersuara kritis, juga belum nampak sebagai lembaga independen yang mengawal kerja negara.

Diskusi berjalan dengan santai, walau begitu tampak keseriusan para peserta mengerjakan tugas tugas yang di berikan fasilitator. Bersama dengan kelompok masing masing, presentasi peserta sungguh luar biasa. Semangat untuk menyadari perlunya perubahan tergurat dalam penyampaian pendapat mereka.


Angka dan data yang baru mereka pahami di pelatihan tersebut merubah cara pandang yang mereka akui selama ini sempit. Resiko dan dampak hingga potensi epidemi yang bisa semakin luas mengancam kabupaten menjadi persoalan yang serius untuk di tanggapi.

Komitmen mereka untuk saling berkoordinasi dengan Lembaga setempat yaitu KPA mulai tampak menggeliat dengan adanya dorongan dari pelatihan merespon tantangan epidemi
HIV?AIDS dalam konteks HAM yang berperspektif gender. Tinggal bagaimana KPA dan jajarannya menyambut positif geliatan ini, sebagai langkah awal membangun sinergitas gerakan bersama lintas sektor dengan memberdayakan semua stake holder setempat.

Mudah mudahan Kabupaten Bandung segera memulai langkah yang lebih efektif dalam merespons tantangan epidemi HIV dengan menggunakan
kacamata gender dan HAM.

Tidak ada komentar: