Subscribe

Senin, Februari 09, 2009

Tragedi ataukah Bencana ?

Tayangan banjir di Jawa tengah dan beberapa propinsi lain yang baru baru ini diberitakan oleh kalangan media, mengingatkan pada tiga hari perjalananku di Semarang kemarin. Banjir sempat menggenangi beberapa ruas jalan, ini akibat hujan yang terus menerus mengguyur kota tersebut. Akibatnya lalu lintas macet, beberapa kendaraan juga ikut terjebak karena mesin tak mau hidup. Aktifitas kota menjadi terganggu.


Banjir memang menuai masalah. Tidak sedikit masalah kesehatan yang ditimbulkannya. Pengungsian juga menjadi sorotan.Seorang teman menulis sebuah artikel berjudul "Banjir". Ulasan yang mengangkat banjir dengan segala problematikanya. Sebuah kritikan disampaikan berkaitan dengan cara pandang banjir. Manakala banjir dipandang sebagai sebuah bencana maka peristiwa ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diprediksi dan diantisipasi.Semua mengalir begitu saja diluar kemampuan manusia untuk mencegahnya. Sementara penguasa akan berlenggang kangkung karena semua tidak bisa di duga atau diantisipasi.Bahkan selain itu, membawa nama Tuhan sebagai penguasa alam, untuk membungkam bantahan.



Nalar tersebut membuat penguasa merasa bebas dari tanggung jawab, yang dihubungkan oleh peristiwa sebab dan akibat. Kemudian tiba tiba datang membawa bantuan dengan topeng dewa yang disandang. Berharap banyak hati bersimpati dan menunggu kata bahwa penguasa peduli.
Lain halnya jika banjir dipandang sebagai tragedi kemanusiaan. Banjir sesungguhnya telah diundang oleh kerusakan alam, hutan gundul, resapan air yang sempit dan pemanasan global. Semua itu merupakan kelalaian penguasa untuk mencegahnya. Kelalaian yang harus dipertanggung jawabkan oleh penguasa negri ini untuk menjamin hak hak rakyatnya untuk aman terbebas dari tragedi kemanusiaan, yang sebenarnya bisa dicegah dan diantisipasi.



Jika saja problem HIV/AIDS juga di pandang sebagai tragedi kemanusiaan dan bukan bencana atau bahkan kutukan, maka penghakiman atas perilaku perilaku individu bisa dihindarkan. Sistem akan dipandang sebagai akar permasalahan epidemi.Saat undang undang hanya dipakai sebagai lambang. Jaminan kesejahteraan yang tertuang belum bisa dinikmati, lebih dipandang sebagai kiasan pemanis undang undang. Mandat rakyat masih dijadikan komoditi politis untuk menggaet suara terbanyak dalam pemilu yang rutin lima tahun sekali. Kebijakan yang yang masih diukur dengan tinggi rendahnya ekonomi makro membuat segolongan masyarakat tersisihkan dan terpuruk dalam kemlaratan. Hal inilah yang menggiring mereka harus bekerja dalam situasi yang beresiko, yang akhirnya mereka dipantaskan untuk mendapat tudingan amoral. Sementara konstruksi timpang gender seakan dilanggengkan bahkan cinderung diabaikan. Perempuan yang terbungkam memposisikan konstruksi itu semakin kuat mencengkeram. Budaya budaya yang terbalut moral semakin menjauhkan masyarakat terpinggir, sebagai bangsa dari negaranya sendiri.
Akankah identitas yang hilang itu akan kembali? Sampai kapan hak hak yang terlanggar terpulihkan lagi? Ataukah semua itu akan dibiarkan terjadi hingga epidemi HIV ini semakin luas menginvasi?

Tidak ada komentar: