Subscribe

Minggu, Februari 22, 2009

Pejabat Bogor dan HIV/AIDS

Kabupaten Bogor, adalah kota kecil yang dekat dengan ibukota Jakarta. Jaraknya hanya 45 menit dari Jakarta dengan menggunakan kereta KRL. Kota yang berada di kawasan pegunungan ini terasa begitu padat penduduknya. Semrawut lalu lintasnya dengan kemacetan yang tampaknya sudah menjadi pemandangan keseharian. Tampak juga jalanan yang berlobang cukup dalam disana sini, rawan kecelakaan. Di Hotel Papa Ho seberang Jambu Mall inilah cerita ini di mulai.

Kurang lebih lima belasa menit perjalanan dari hotel menuju dinas kesehatan kabupaten Bogor. Tempat diselenggarakannya pelatihan Merespon Tantangan epidemi HIV/AIDS dalam konteks HAM yang Berprespektif Gender. Selama dua hari penuh pelatihan tersebut dijadwalkan.Hari pertama untuk para pengambil kebijakan dan yang kedua bagi praktisi.

Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama CHPSC ( Centre Health policy and sosial change Yogyakarta ) dengan dinas kesehatan kabupaten Bogor. ada dua puluh pengambil kebijakan yang diundang dalam acara tersebut. sebagian diantaranya adalah pimpinan kedinasan dari SKPD setempat.

Ruang briefing dinas kesehatan di pilih sebagai ruang pelatihan ini. Tempatnya memang tidak terlalu luas, namanya juga ruang rapat. Bagi fasilitator ini merupakan salah satu kesulitan yang menjadi tantangan tersendiri. Peserta yang hadir adalah orang orang dinas yang cukup sibuk di bidang kerjanya. Waktu penyelenggaraan yang hanya satu hari dengan kepadatan materi yang harus diberikan memberikan beban dalam proses pelatihan. Hal ini mendapatkan banyak catatan dalam lembar evaluasi yang diberikan oleh peserta di akhir sesi acara.


HIV/AIDS oleh para peserta masih dipandang sebagai persoalan individu dan kelompok tertentu. Perempuan pekerja seks masih saja diberikan garis bawah dan cetakan tebal sebagai aktor kunci penyebaran epidemi ini. Pandangan perilaku menyimpang dari kelompok homoseks masih menjadi keyakinan bahwa komunitas ini haruslah disembuhkan.

Tuduhan kebinalan perempuan yang mendorong pilihan menjadi pekerja seks untuk kepuasan dan melampiaskan birahi semata. Sementara para pelanggan , laki laki hanya dipandang sebagai korban yang berimbas pada keluarga terutama istri dan anak. Ada juga pandangan bahwa problem HIV/AIDS bersumber pada odha ( orang dengan HIV/AIDS ) sehingga diusulkan semua pekerja seks dan orang orang yang berzina di test HIV dan kemudian yang positif di tembak mati.

Sementara dari sistem kebijakan, peserta masih memandang bahwa regulasi tentang prostitusi masihlah lemah. Pimpinan Lapas mengemukakan bahwa Lapas yang dipimpinnya telah penuh dengan Napi.Lapas yang berkapasitas 300 orang ini telah padat dengan 500 orang yang menghuninya hanya dalam kurun waktu 3 bulan. Ini menandakan banyaknya orang bermasalah moral. Akan tetapi Lapas tersebut juga belum mempunyai kebijakan yang yang mendukung program penanggulangan HIV. Hal tersebut dikarenakan belum adanya lampu hijau ditingkat pusat berkenaaan dengan regulasi. KPA ( komisi penanggulangan AIDS )masih dipahami sebagai LSM yang menanggulangi AIDS, ironis sekali.


Pelaksana harian KPA yang hadir membuka pelatihan tersebut. Anehnya Pejabat ini baru mengetahui bahwa dirinya adalah pelaksana harian KPA sesaat sebelum acara tersebut dimulai. Mungkin bisa dibayangkan bagaimana ribet ruwetnya koordinasi KPA yang hanya mempunyai dua orang staff baru, dimana biayanya operasionalnya merupakan bantuan KPAN. Problem senada juga diakui oleh dr.Kusnadi, salah satu pejabat di dinas kesehatan kabupaten Bogor.

Huih, banyak sekali yang harus dikerjakan. Sebagai fasilitator hal tersebut adalah tantangan yang menarik untuk di bongkar habis. Mulai dengan data kasus HIV hingga hitung hitungan estimasi yang menunjukkan resiko pada layanan kesehatan dan bank darah. Angka yang mereka hitung sendiri menunjukkan kerentanan pada populasi umum termasuk diri peserta dan keluarga mereka.


Tata nilai dan norma peserta yang selalu menjadi cara pandang untuk dipaksakan untuk berlaku pada kelompok tertentu, di bongkar dengan konsekuensi dampak, dari pengalaman yang selalu menuai kegagalan bila penyelesaian masalah hanya dititik beratkan pada keyakinan tentang agama semata. Budaya yang mengakar kuat dengan tafsir tafsir agama secara perlahan di kupas untuk menunjukkan adanya konstruksi sosial dalam masyarakat.

Dan pemahaman tentang konstruksi inilah yang dijadikan dasar untuk memulai perubahan tersebut. Cara pandang bahwa epidemi ini bukan sebatas medis belaka telah mempengaruhi para peserta untuk berpikir lebih luas dalam kerangka sistem yang merujuk pada problem HAM dan relasi gender.

Informasi berkaitan dengan kemajuan dunia klinis HIV/AIDS menjadi masalah yang serius. Beberapa permainan segar seperti bisik bisik tetangga secara halus telah memberikan pemahaman pada para peserta, bahwa pemberian informasi selalu membutuhkan waktu dan strategi dalam prosesnya. Sehingga problem penyebaran informasi tersebut tidaklah semata mata cukup dengan mengatakan " program sosialisasi ".

Problem koordinasi karena lemahnya posisi KPA kabupaten , menuntut intervensi serius dari ketua KPA yaitu wakil Bupati. Ketidak tahuan para pimpinan kedinasan yang sering disebut dengan SKPD adalah problem koordinasi struktural kabupaten ini. Dorongan ini memunculkan asumsi lemahnya KPAN dalam monev ( monitoring dan evaluasi) pada tingkat kabupaten kota, dalam programnya.

RTL ( rencana tindak lanjut ) yang disusun oleh peserta belumlah merujuk pada problem sistem seperti yang diungkapkan diatas. Masih terlalu tehnis jika dipandang dari kapasitas pengambil kebijakan. Akan tetapi inilah proses. Sebuah awal mula geliatan dari kepedulian dalam penanggulangan epidemi HIV. Semoga apa yang telah dimulai terus berkelanjutan hingga terwujud gerakan stop epidemi AIDS yang lebih ideal dan mempunyai prespektif gender dan HAM.

Sukses untuk Kabupaten Bogor.

Tidak ada komentar: