Subscribe

Senin, Februari 02, 2009

Perempuan Perempuan Terpasung Budaya Diam


Minggu lalu, seorang pekerja seks menemuiku di PKBI. Wajahnya tampak bingung.Kesedihan tergurat nyata diwajahnya. airmata itu tak bisa dibendung lagi.Perempuan ini terdiagnosa HIV positif. Dengan menagis perempuan ini mengisahkan kepahitan hidupnya.

Dulu perempuan ini adalah pengusaha. Dari mengkreditkan uang hingga baju maupun barang barang elektronik di kota Solo, sedangkan suaminya bekerja sebagai sopir bus antar propinsi.Saat itu kehidupannya begitu makmur hingga mereka mampu mnguliahkan anaknya yang pertama. Sedangkan anak yang kedua masih duduk di bangku SMK di Jateng.
Saat terjadi kerusuhan di Solo yang khabarnya hingga bakar bakar rumah maupun toko, seluruh modal usaha perempuan ini juga habis hangus terlalap api, tak ada yang tersisa. Selang tidak berapa lama dari kejadian itu, suami yang berprofesi sopir bus itu mendapatkan kecelakaan. Bus yang dikendarainya menabrak seorang ibu hamil hingga tewas. Malang terus berlanjut, semua harta dan kekayaan yang mereka punya habis untuk biaya dan pengobatan korban kecelakaan tersebut. Bukan itu saja, sang suami harus menginap beberapa waktu dipenjara sebagai konsekuensi hukumnya. setelah semuanya habis, kini bertambah lagi penderitaan perempuan ini dengan ambruknya sang suami hingga harus menjalani teraphy rutin guna kesembuhannya. suami ternyata terkena serang stroke. Dengan terpaksa perempuan ini harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan sandang , pangan dan juga temapat tinggalnya. Bekerja di layanan seks bukannlah keinginan dia.Akan tetapi tekanan ekonomi yang begitu kuat memaksa dia harus mengorbankan dirinya demi suami dan anak anaknya, yang masih membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menjadi pekerja seks adalah pilihan terakhirnya sekalipun hal tersebut sangatlah tidak diiinginkannya. Suami mengijinkannya. Akhirnya kehidupan malam di sepanjang rel di gelutinya untuk mendapatkan uang sekedar bertahan hidup. Keluarga dan anak anaknya jauh di Jateng tidaklah mengetahui pengorbanan apa yang sedang dilalui oleh sang ibu. Impian sang ibu hanyalah ingin menyekolahkan anak anaknya hingga suatu saat ereka dapat mandiri. Kesehatan suami hingga kini masih diupayakan oleh perempuan ini sekalipun harus mengorbankan dirinya sendiri.


Masyarakat luas tentulah tidak mengetahui perjuangan perempuan ini. Sebuah kisah kehidupan yang menggambarkan kecintaan tulus dengan pengorbanan yang tak berujung. Cacian dan makian yang selalu ditudingkan kepada para pekerja seks ini hanyalah menambah sayatan hati. Mereka tidak tahu atau tidak mau tahu perihal hancurnya perasaan yang selalu dipikul sebagi beban keseharian. Masih banyak hal yang masih timpang. sebagaimana ketimpangan ekonomi yang dimelanda perempuan ini. Ketimpangan gender yang diterima dalam budaya oleh para perempauan. Ketimpangan sosial yang hanya berpihak pada kemapanan. Jujur hatikupun ikut menagis, terbayang wajah ibuku yang mempunyai kemiripan perjuangan hidup, walaupun kisahnya tak sama. Dunia hingga kini masih terbungkam. Budaya patriarki mengkonstruksikan para penguasa untuk tetap bertahan pada kekuasaannya. Akankah ini akan berakhir? Berapa lagi perempuan yang akan menjadi korban? Masihkan ada tempat yang mau untuk mendengar suara para pekerja seks ini? Cukup adilkah bagi mereka sebagai tumpahan kesalahan dan tudingan amoral?
Jawabnya ada di hati nurani kita masing masing..

Tidak ada komentar: