Subscribe

Senin, Februari 02, 2009

Perempuan Perempuan Terpasung Budaya Diam

(Bag...2 )
Kekerasan dalam rumah tangga belum berhenti hingga kini. Seorang perempuan menuturkannya padaku. Deritanya terus saja mengguyur tanpa henti. Sebagai seorang istri yang telah melahirkan 2 orang anak dan membesarkannya. Sampai saat ini harus tetap memikul beban yang sangatlah berat. Pencaharian nafkah harus dilakukannya sendiritak seorangpun membantu tidak juga suaminya. Laki laki yang dinikahinya hanyalah seorang pengangguran.Uang, uang dan uang itulah tuntutan suaminya, tanpa pernah memberikannya kesempatan untuk menikmati dunia. tiada pula pernah dirasakan olehnya senyuman kelegaan. Tamparan dan makian hanyalah hal biasa yang menjadi bagian hidupnya, apalagi saat pulang tidak membawa uang.


Perempuan ini sengaja dijual oleh suami tak bertanggung jawab ini sebagai pekerja seks di Jogja. Sementara sang suami hanyalah makan , tidur dan foya foya dengan minuman yang selalu menemaninya. AH..bak sinetron saja, akan tetapi yang ini adalah kisah nyata.
Penghasilan menjadi seorang pekerja seks kelas bawah tidaklah manusiawi.Tak sebanding dengan nilai kerusakan organ yang tak akan pernah tergantikan. Pungli disana sini menjadi beban yang harus dibayarkan tiap harinya. Uang lebaran puluhan ribu seakan hanyalah lewat begitu saja, dan tak tersisa. Bayangkan jika perempuan ini harus membayar sewa kamar, setoran ke mama ( sebutan buat mucikari ), uang keamanan dan keperluan sehari harinya. Tuntutan suami yang memang tidak punya otak membuat perempuan ini harus ekstra kerja keras mendapatkan tamu sebanyak banyaknya dalam semalam. Urusan perut dan tututan hidup membuat posisi tawarnya menjadi lemah. Banyak tamu yang enggan mengunakan kondom sebagai pengaman dengan seribu alasan.Akan tetapi perempuan ini tak kuasa menolak karena kuasa uang. Hal ini membuat perempuan ini semakin terpuruk dalam situasi yang sangat beresiko. Organ reproduksinya telah ia pertaruhkan. Pengorbanannya ia berikan sepenuhnya dengan mengabaikan keselamatan dan kesehatannya sendiri. Kehancuran dan sesuatu yang buruk terus saja bergentayangan mengancam hidupnya. Berbagai infeksi menular seksual telah siap menikamnya. sementara relasi kuasa telah membuatnya terpuruk dalam ketidak adilan tersebut.


Kini perempuan itu ada di hadapanku. Status HIV positif menjadi tamparan baru buat dirinya. dirinya gundah." apakah kematian akan segera menjemputku?". Dirinya merasa belum siap. Manakala dua orang anak masih membutuhkan dukungan dari dirinya. Begitu tidak adil kenyataan ini. Bagaimana seorang perempuan yang telah susah payah dengan segala pengorbanan yang luar biasa, kini harus dihadapkan pada sebuah fakta bahwa dirinya kini terinfeksi virus yang sampai kini belum ada obatnya.
Seorang laki laki yang sedari tadi menemani perempuan ini, tetap diam, sebut saja Tegar ( nama samaran ). Tegar inilah satu satunya teman, yang paling dapat dipercaya oleh perempuan ini. Sudah hampir 6 bulan mereka kenal dekat. Bahkan saat terdiagnosa positif HIV, Tegar adalah orang pertama yang diberitahunya. Di ruangan konseling itu Tegarpun memberikan semangat kepada perempuan yang tak lain adalah pacarnya.
Kini perempuan ini telah mengakses layanan CST ( care suppor and treatmen ). Layanan tindak lanjut bagi orang yang telah terdiagnosa HIV positif. Dengan hasil CD4 486, maka kondisi perempuan ini akan tetap baik, hingga menunggu kapan treatmen ARV ( antiretroviral) akan dimulai. ARV adalah teraphy yang memungkinkan kondisi odha pada level sehat.


Kisah diatas adalah fakta yang kutemui minggu lalu. Sebuah bukti bahwa ketimpangan jender masih terus berlangsung. Profesi pekerja seks ternyata bukanlah kebinalan perempuan seperti yang selama ini dituduhkan, akan tetapi merupakan bagian dari perdagangan manusia, yang sebagian besar dilakukan oleh suami ataupun keluarga sendiri. Kemiskinan telah menciptakan dunia ketidakadilan bagi perempuan. Marjinalisasi perempuan mengkondisikan kaum ini pada ketidak berdayaan, Steriotype telah mengkonstruksikan perempuan menjadi bagian yang layak untuk disudutkan dan bahkan kekerasan demi kekerasan dialaminya tanpa pernah ia kembali menuntutnya. Ingin sekali ada seseorang yang mau melakukan pembelaan. Kewajaran dan pandangan " sudah selayaknya " merupakan vonis terkeji yang kemudian ia sandang. Akankah ketimpangan ini terus akan bertahan? Apakah ketidak adilan bagi perempuan juga langgeng dalam budaya diam? Setiap hati nurani akan selalu dituntut untuk melakukan perubahan ...


1 komentar:

Anonim mengatakan...

semoga bencana tidak terjadi lagi