Subscribe

Jumat, Maret 06, 2009

ARV antara harapan dan perjuangan

Indonesia adalah salah satu negara yang mendapatkan dukungan dana dari GF - ATM ( Global Fund for fight Aids Tb and malaria ) untuk penanggulangan HIV/AIDS. Tercatat angka kasus HIV Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya, bahkan epidemi ini disebutkan sebagai yang tercepat di Asia.

Dana bantuan $130 juta, bukanlah dana yang besar jika dibandingkan dengan persoalan hiv negara ini, apalagi jika dilakukan perhitungan anggaran bagi 12 propinsi yang dianggap angka prevalensinya paling tinggi. Padahal program tersebut masih dan hanya di fokuskan pada kelompok high risk pekerja seks, pengguna napza suntik, waria, anak jalanan dan gay.


Bagaimana dana bantuan ini akan bisa menjawab semua kebutuhan penanggulangan epidemi? Bantuan GF ATM adalah dana stimulus untuk penanggulangan epidemi bagi negara penerima. Pada perjalanan waktu nantinya bantuan tersebut akan semakin berkurang dan diganti dengan anggaran negara dengan porsi yang lebih besar.

Hingga kini dominasi anggaran masih dibebankan ke lembaga donor GF ini. Negara dengan dana APBN hanya memberikan porsi yang sangat kecil, kira kira hanya20% dari seluruh dana penanggulangan epidemi hiv. . Jika di hitung hitung bahwa estimasi HIV di Indonesia sudah mencapai 210.000 orang dengan kebutuhan ARV( obat HIV ), maka negara ini harus menyediakan dana kira kira Rp. 300 milyard perbulan untuk pengadaan ARV saja, bila dihitung harga obat perbulan adalah satu setengah juta per orang, lalu bagaimana dengan kebutuhan lainnya?


Problem itu semakin bertambah berat manakala, pada bulan November tahun lalu, bantuan GF ini dialihkan oleh donor ke negara Afrika, secara tiba tiba. APBN yang belum siap dengan peralihan tersebut, menyebabkan ketersediaan ARV Indonesia waktu itu guncang. Hampir di semua propinsi mengatakan ARV langka. Hal tersebut membuat odha ( orang denga hiv/aids ) gelisah. Kegelisahan tersebut dikarenakan mereka tahu bahwa obat ini tidak boleh sekalipun berhenti dalam konsumsi karena bisa berakibat resistensi, dan membahayakan dirinya dengan virus yang semakin berkembang dalam tubuhnya.

Tragedi diatas menjadi headline news bagi para penggiat hiv/aids. Kepedulian akan masalah ini menjadi perbincangan ditingkat nasional melalui KPAN ( komisi penanggulang AIDS Nasional ). Rakernas Surabaya yang dipimpin Menteri kesehatan akhirnya mendapatkan jawaban atas problem tersebut dengan menggunakan dana kesra yang waktu itu sifatnya sangatlah sementara. Dana talangan hanya akan bertahan hingga bulan maret 2009, guna mencukupi pengadaan obat ARV nasional .

Kini bulan Maret telah berjalan. Belum ada keterangan resmi dari pejabat di KPAN yang menyatakan bahwa ARV nasional akan aman dalam hal ketersediaan. Belum ada jaminan negara dalam alokasi dana APBN untuk penyediaan ARV. Serangkaian postingan di milis akhirnya memunculkan dr.Dyah mustikawati ( dmustika_2007@yahoo.co.id ) salah satu pejabat di KPAN yang mengungkapkan bahwa sedang ada proses pengadaan ARV melalui UNICEF dalam alokasi dan GF ATM yang saat ini sempat tertunda. Pertengahan Maret ini akan datang batch pertama ( Aluvia dan Didanosin ) dan batch kedua akan datang di bulan Mei mendatang, semua surat surat terkait tersebut sedang dipersiapkan.

Berpegang pada SK menkes 1190/2004 tentang penyediaan obat gratis, maka pemerintah pusat sedang mengupayakan dan mengamankan ketersediaan ARV dengan bantuan mitra dari UNICEF dan Clinton foundation, begitulah tulis beliau.

Betapa ironisnya negeri ini, disaat epidemi hiv semakin meluas. Bagaimana ancaman besar akan bahaya resistensi virus terhadap obat, bagi negara dengan jumlah penduduk yang terbesar kelima didunia ini hanya digantungkan pada bantuan lembaga donor asing? Memang masalah ini telah mengundang perhatian dunia untuk ikut serta dalam upaya stop epidemi, akan tetapi negara tetap mempunyai tanggung jawab yang besar bukan kemudian menggesernya dengan menggantungkan penyelesaian seluruh masalah hiv pada lembaga donor asing . Apakah masalah dibulan November tahun lalu belum memberikan pelajaran bagi bangsa ini untuk berpikir bahwa epidemi ini adalah masalah yang menjadi tanggung jawab negara?

Informasi yang masih terbatas pada penggiat hiv/aids membuat respon ini hanya dilakukan oleh orang orang yang berkecimpung didalamnya saja, hal ini justru membuat keterpisahan yang membuat program yang dijalankan menjadi tidak efektif, karena setiap elemen masih berkutat pada kepentingannya sendiri sendiri.

Adalah tugas kita bersama untuk berperan aktif didalam upaya penangulangan epidemi ini. Peran aktif inilah yang nanti akan mendorong negara untuk merespon tantangan epidemi dengan segala keterkaitan masalah yang melingkupinya.

Tidak ada komentar: