Subscribe

Rabu, Februari 25, 2009

Aborsi dalam perspektif gender

(bag 2...... )
Beberapa kasus terkait dengan keinginan ataupun tindakan aborsi tercatat dilayanan klinik VCT ( voluntary conselling and testing ).Sebagian dari mereka adalah pasangan suami istri. Kebanyakan dari catatan konseling mengatakan bahwa kehamilan yang tidak diinginkan tersebut terjadi karena gagal kontrasepsi. sebagai contoh

Di bulan Febuari,2009 Seorang perempuan usia duapuluhan tahun menyatakan dirinya untuk tidak meneruskan kehamilannya. Usia kehamilannya masih kurang dari 10 minggu.Pekerjaan perempuan tersebut, sebagai penjaga toko di Jogja. Suami perempuan ini adalah odha ( orang dengan status HIV positif ).Bahkan terapi yang digunakan oleh suami adalah ART ( antiretroviral teraphy ) lini kedua, yang masih jarang kasusnya di Indonesia.
Pekerjaan suami, buruh serabutan dan tidak tentu. Kadang kerja terkadang menganggur dirumah. Pasangan ini mempunyai dua orang anak yang masih duduk dibangku SD. Tinggal di sebuah rumah kontrakkan yang kecil dan jauh dari layak. Selama ini mereka mengaku bahwa Hubungan sex yang dilakukan selalu menggunakan kondom. Akan tetapi kegagalan alat kontrasepsi ini terjadi tanpa mereka ketahui, sehingga terjadi kehamilan yang tidak diinginkan tersebut.

Tahun 2007, seorang perempuan TKI yang berkerja di Malaysia pulang ke Indonesia. Hasil general chek up dari negeri jiran tersebut menunjukkan hasil HIV positif. Dengan di antar oleh suaminya, perempuan ini berkeinginan untuk mengakhiri kehamilannya.Usia kehamilan masih dibawah sepuluh minggu. Hasil konseling mencatat bahwa status HIV positif tersebut terjadi akibat kekerasan di negeri Jiran tersebut.Pasangan ini telah dikaruniai satu orang putri yang masih kecil.

Tahun 2008, sepasang remaja berkeinginan untuk mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan. Kedua remaja ini berstatus HIV positif. Dua duanya telah mendapatkan teraphy ARV, akan tetapi keduannya pernah pula mengalami drop out teraphy. Status mereka belum menikah. Hal tersebut dilatar belakangi karena ketidak setujuan orang tua dari kedua belah pihak. Alasan ketakutan terjadi penularan pada keturunan mereka nantinya, melatar belakangi kekhawatiran orang tua mereka, yang mengetahui status HIV pasangan remaja ini. Saat itu usia kehamilan perempuan telah lebih dari 10 minggu. Kekawatiran akan penularan pada bayi mereka nantinya, melandasi keputusan mereka untuk tidak meneruskan kehamilan yang tidak diinginkan tersebut. Kedua remaja ini belum mempunyai pekerjaan dan nafkah sendiri. Menurut penuturan perempuan, calon suaminya adalah pengguna putaw suntik dan masih aktif. Rehabilitasi masih dijalani oleh calon suaminya saat itu. Kekerasan fisik sering kali dilakukan pacarnya tersebut, ungkap perempuan ini.

Semua pasangan di atas mengatakan bahwa mereka telah mendatangi beberapa layanan kesehatan yang ada. Akan tetapi tidak ada satupun dari layanan kesehatan yang disebutkan mau berpihak pada mereka. Tawaran program PMTCT ( prevention mother to child transmission ) selalu saja diberikan sebagai satu satunya pilihan atas kasus mereka. Sedangkan dari segi biaya program ini tidaklah murah,lebih dari 7,5 juta harus disiapkan untuk keperluan program tersebut.

Pandangan petugas kesehatan yang mereka temui cenderung menyalahkan perempuan yang mengalami kehamilan ini. Tak jarang ungkapan bernada menghakimi terlontar dari para petugas kesehatan. Akibatnya pasangan ini merasa tidak ada layanan yang berpihak dan frendly untuk menyelesaikan kasus yang sedang mereka hadapi. Berbagai Obat paten maupun tradisional telah mereka coba untuk menghentikan kehamilannya, akan tetapi selalu mengalami kegagalan. Tubuh yang telah rentan karena infeksi HIV tersebut masih terus dibebani dengan masuknya zat asing kedalamnya. Perempuan inipun rela melakukan pengorbanan yang luar biasa, demi kasusnya bisa selesai.

Pasangan remaja di atas akhirnya, memutuskan untuk meneruskan kehamilannya dan kemudian menikah. dari program PMTCT yang dijalaninya Pada akhirnya melahirkan seorang bayi mungil dengan jenis kelamin laki laki. Akan tetapi usia sang bayi tidaklah bertahan lama, kurang dari dua hari sejak dia dilahirkan, bayi itupun meninggal. Bayi tersebut tidak kuat menerima ARV sebagai profilaksis teraphy, yaitu salah satu program dalam PMTCT. Biaya yang banyak harus mereka tanggung. Tetapi depresi yang muncul diakibatkan oleh meninggalnya buah hati mereka. Hal tersebut menyebabkan si suami kembali menggunakan putaw suntik, hingga OD ( over dosis ).

Lihatlah bagaimana problem informasi kuat sekali terbaca dalam kasus kasus di atas. Bahwa layanan konseling yang diberikan dibeberapa layanan kesehatan belumlah sampai pada pemahaman bagi kliennya.Adanya perilaku petugas yang memaksakan tata nilainya hingga membuat ketidak nyamanan pasiennya.Hal tersebut mendorong layanan pengobatan alternatif menjadi pilihan walaupun sangat beresiko pada perempuan.

Ada problem ketimpangan gender yang membawa perempuan rentan dalam tindak kekerasan. Ketidak berdayaan di sektor ekonomi yang diakibatkannya telah memposisikan perempuan jatuh dalam kemiskinan yang sesungguhnya. Perlecehan dan bahkan HIV/AIDS yang terjadi tidaklah mendapat perlindungan dan pembelaan negara dengan alasan angka/jumlah yang terlampau kecil. Atau lebih parahnya hal tersebut ditimpakan sebagai kesalahan individu " perempuan "

Kemiskinan negara telah menjual para TKI menjadi komoditi eksport yang menghasilkan devisa yang luar biasa, akan tetapi di sisi lain TKI tersebut tidaklah menerima perlindungan dari negaranya sendiri. Tidak ada pembelaan dari negara hingga para perempuan ini tidak mampu untuk menuntut haknya dari tindak kekerasan yang berdampak pada dirinya.

Disisi lain ada problem kebijakan yang belum menyentuh hingga level ini. Kebijakan yang di buat, hanya berpihak pada kelompok sosial masyarakat yang " normatif ". Perlu adanya peninjauan kembali atas produk kebijakan tersebut, karena minimnya Yankes, petugas kesehatan yang kurang friendly dan problem lainnya, dilandasi oleh produk hukum yang belum mempunyai perspektif gender dan HAM.

Masih banyak yang bisa dijadikan pembelajaran dari kasus di atas, mulai dari ekonomi, sosial , budaya dan bahkan sistem pendidikan kita. Masyarakat belum banyak yang menyadari bahwa begitu luasnya permasalahan HIV/AIDS terkait HAM dan isu gender. Pandangan terhadap perilaku individu begitu mengakar dan berujung pada penyelesaian masalah epidemi yang tak kunjung berakhir.

Problem diatas menunjukkan bahwa HIV/AIDS tidak cukup diselesaikan dengan kaca mata medis semata. Banyak aspek sosial yang harus diselesaikan dari multi dimensi. Aspek sosial ini menuntut penyelesaian problem di atas dengan menggunakan perspektif HAM dan gender.


Tidak ada komentar: